
PAPER
Model dan Pola Pelayanan BK serta Struktur
Organisasi BK
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Dasar-Dasar Bimbingan
Dosen pengampu:
Drs. Suharso,M.Pd., Kons.
Zakki Nurul Amin, S.Pd.
Oleh
Rombel 2
Ika Rosyadah Hari
Afifah
1301414051
JURUSAN
BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS
ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
NEGERI SEMARANG
2014
A. Model-model Bimbingan Konseling
Terdapat beberapa model bimbingan
yang berkembangan yang dimulai dari periode awal sampai periode sekarang.
Model-model tersebut yaitu :
a) Model Bimbingan Periode Awal
a. Model Parsonian.
Model
ini merupakan buah pikiran atau gagasan dari Frank Parson yang berupaya
menjodohkan karakteristik individu dengan syarat-syarat yang dituntut
suatu pekerjaan. Teori ini menekankan tentang bantuan yang dilakukan oleh
konselor terhadap individu yang akan masuk ke dunia kerja. Teori yang
dikembangkan oleh Frank Parson ini memberikan kontribusi yang sangat berarti
kepada perkembangan bimbingan terutama yang menyangkut tiga aspek :
a) Kegiatan menganalisis yang dilakukan
sebelum memilih pekerjaan menggunakan tes psikologis untuk memperkirakan
karakteristik individu.
b) Bimbingan sebagai suatu program
membantu individu sebelum masuk ke dunia kerja.
c) Bimbingan model Parson memfokuskan
pada aspek vokasional/ biro pekerjaan.
b. Bimbingan Identik dengan Pendidikan
Yang
mengemukakan model ini adalah Brewer melalui bukunya “Education as Guidance”
yang dipublikasikan pada tahun 1932.Para ahli lain yang berpendapat sama sengan
Brewer adalah:
- Meyer mengemukakan “all education is now regocnized”
- Hawkes menyatakan bahwa “education is guidance and guidance is education”
- Hildreth berpendapat bahwa “tidak ada perbedaan yang berarti antara pendidikan dan bimbingan,baik dalam tujuan,metode,maupun hasil”.
Bimbingan
identik dengan pendidikan,karena rangkaian kegiatan-kegiatannya meliputi semua
kegiatan pendidikan.
b) Model Bimbingan Periode Berikutnya
a. Bimbingan sebagai Distribusi dan
Penyesuaian
Pada tahun 1930 an, Koos dan Kefauver memperkuat pendapat
dari Proctor yaitu siswa Sekolah Menengah Atas sangat membutuhkan bantuan dalam
memilih studi. Koos da Keufauver mengemukakan bahwa bimbingan berfungsi
distribusif dan penyesuaian dan harus melaksanakan dua fungsi pokok yaitu :
1) Distribusi. Dalam hal ini konselor
berupaya untuk membantu siswa dalam menyusun tujuan-tujuannya baik dari
bidang pekerjaan, sosial atau lainnya serta membantu untuk menemukan peluang
dalam bidang pendidikan dan pekerjaan. Hal ini bertujuan agar siswa mampu
pemahami dirinya dan lingkungannya.
2)
Penyesuaian.
Dalam hal ini konselor membantu klien agar dapat menyesuaikan diri dan
memadukan pengetahuan tentang dirinya dengan lingkungan yang terkait dengan
tujuan yang ingin dicapai.
b.
Bimbingan
sebagai distribusi dan penyesuaian mempunyai fungsi yaitu:
a) Membantu siswa agar memperoleh
tingkat efisisensi dan kepuasan yang tinggi dalam melakukan aktivitas.
b) Membantu siswa untuk membantu
memilih kegiatan diluar ssekolah.
c) Membantu siswa agar dapat merumuskan
perencanaan dan tujuan yang ingin dicapai.
d) Membantu siswa untuk memperoleh informasi
berupa faktor yang harus diperyimbangkan dalam merumuskan perencanaan,
probabilitas keberhasilan, kegiatan yang ingin dipilih, program sekolah dan
lain-lain.
e) Bimbingan sebagai Proses Klinis.
c. Bimbingan sebagai Pengambilan
Keputusan
Bimbingan ini pertama kali
diperkenalkan oleh Jones dan Myer. Dalam model ini, konselor memiliki tugas
untuk mendorong siswa untuk memahami nilai-nilai dan menyertakannya dalam
mengambil keputusan dan memberika informasi tentang peluang-peluang yang
bermanfaat dari setiap alternative yang dipilih. Model ini juga memiliki asumsi
bahwa keragaman antar individu sangat penting, permasalahn tidak dapat
diselesaikan dengan sukses tanpa bantuan orang lain yang professional/konselor.
d. Bimbingan sebagai Sistem Eklektik.
Bimbingan eklektik merupakan
representasi dari pendapat dan teori Strang, Traxler, Erickson, Froechlich,
Darley, Trorne dan lainnya. Model bimbingan eklektik memiliki beberapa assumsi
dasar yaitu : individu memerlukan bantuan professional secara periodic dalam
memahami dirinya dan memecahkan masalahnya, individu memiliki kemampuan untuk
belajar dan membuat perencanaan, pemberian pelayanan yang berorientasi kepada
teori tunggal memiliki keterbatasan dalam prosedur, teknik atau pandangan
dibandingkan dengan yang bersumber dari beberapa teori.
c) Model Bimbingan Kontemporer
1) Bimbingan sebagai Konstelasi Layanan
Model bimbingan ini diperkenalkan
pertama kali oleh Hoyt pada tahun 1962. Dia mengemukakan bahwa program
bimbingan bukan hanya tanggung jawab konselor tetapi tanggung jawab bersama
semua anggota sekolah, konselor merupakan figur kunci yang bertanggung jawab
terhadap program bimbingan dan pekerjaan konselor yang lebih utama adalah
menjalin kerjasama dengan para guru.
Hoyt juga meyakini bahwa tujuan layanan konseling akan
tercapai dengan sukses apabila diintegrasikan dengan tujuan sekolah.
2) Bimbingan Perkembangan
Model bimbingan ini dikembangkan
oleh Wilson Little dan A.L Chapman yang menyusun buku Developmental Guidance in
the Secondary School, Herman J. Peter dan Gail Farwell yang menyusun buku A
Development Approach serta Robert Mathewson yang menyusun buku Guidance Policy
and Practice. Bimbingan dan konseling yang dipandang sebagai proses
perkembangan menekankan kepada upaya membantu semua peserta didik atau individu
dalam semua fase perkembangannya yang menyangkut aspek-aspek vokasional,
pendidikan, pribadi dan sosial ( Shertzer & Stone, 1971: 76; Robert D.
Myrick dalam Sunaryo K, 1996: 99; dan Dedi Supardi; 1997;7). Model bimbingan
pengembangan ini bersifat konprehensif meliputi semua rentang kehidupan, tidak
hanya terbatas kepada aspek vokasional dan pendidikan, dan juga bersifat
interpretatif.
3) Bimbingan sebagai Ilmu Pengetahuan
tentang Kegiatan yang Bertujuan
Metode bimbingan ini diperkenalkan
pertama kali oleh Tiedeman dan Field pada tahun 1962. Menurut Tiedeman dan
Field mendefinisikan bimbingan sebagai kegiatan professional yang menggunakan
suatu ilmu pengetahuan tentang kegiatan yang bertujuan dalam struktur
pendidikan yang spesifik. Pada hakekat pendidikan, posisi konselor sebagai
pelengkap dan bimbingannya pun tidak termasuk ke dalam pendidikan. oleh karena
itu, Tiedeman dan Filed menekankan bahwa bimbingan tersebut harus eksis dalam
proses pendidikan.
4) Bimbingan sebagai Rekostruksi
Sosial.
Model bimbingan ini dikembangkan
oleh Edward J. Shoben pada tahun 1962. Dia berpendapat bahwa konselor adalah
leader dalam merenkonstruksi sosial disekolah seperti pengelompokan siswa.
Dalam metode ini, tugas utama bimbingan adalah membantu siswa dalam
mengembangkan potensinya dan menemukan cara mengekspresikan diri sesuai dengan
norma masyarakat. Bimbingan yang dirancang harus sistematis dan mendorong siswa
unruk menelaah nila-nilai dan untuk menjalani kehidupan yang teruji.
5) Bimbingan sebagai Pengembangan
Pribadi.
Model bimbingan ini dikembangkan
oleh Chris D. Kehas pada akhir tahun 1960 an. model ini merupakan tahap awal
dalam membangun kerangka kerja konseling di sekolah. Dalam model bimbingan ini
yang menjadi perhatian utamanya adalah perkembangan individu. Kehas berpendapat
bahwa teaching dan conseling merupakan dua pendekatan yang berhubungan dengan
siswa yang bersifat komplementer dan kolaboratif yang sama-sama penting dalam
rangka mencapai tujuan pendidikan.
6) Konseling Keterampilan Hidup.
Konseling keterampilan hidup
merupakan suatu model yang intergratif untuk membantu klien agar mampu
mengembangkan keterampilan membantu dirinya sendiri. Konseling keterampilan
hidup dikatakan integratif karena mengkombinasikan atau memanfaatkan berbagai
pendekatan dari para ahli dalam proses pemberian bantuannya kepada klien.
Konseling keterampilan hidup dalam
melaksanakan pendekatan didasarkan empat asumsi dasar yaitu banyak masalah yang
dibawa kepada konselor merupakan refleksi hasil belajar klien, yang paling
berpengaruh terhadap massalah klien adalah kelemahan klien dalam berpikir dan
bertindak untuk mengatasi masalah, konselor yang efektif adalah mampu
menciptakan supportive helping relationship dan melatih klien agar memiliki
keterampilan berpikir dan bertindak, tujuan utama konseling adalah membantu
klien agar mampu mengembangkan keterampilan berpikir dan bertindak dan dapat
mengatasi masalahnya dan mencegah masalah di masa depan.
7) Konseling Respectful.
Model ini diperkenalkan oleh Michael
D. Andrea dan Judy Daniels. Kerangka kerja konseling ini menekankan tentang
perlunya konselor menyadari bahwa pengembangan psikologis baik dirinya maupun
klien yang dipengaruhi oleh faktor-faktor multidimensi seperti : spiritual/
identitas religious (R), Etnik (E), Identitas Seksual (S), Kematangan
PSikologis (P), Kelas Sosial Ekonomi (E), Tentang Kronologis (C), Ancaman (T),
Sejarah Keluarga (F), Keunikan Karakteristik Fisik (U), dan Lokasi Tempat
Tinggal (L) yang dirangkum dalam nama model konseling RESPECTFUL. Model ini
dikembangkan untuk membantu konselor agar mampu berpikir lebih holistik tentang
kliennya dan mendorong para praktisi untuk mempertimbangkan kerangka kerja
mereka dipengaruhi oleh berbagai faktor beragam.
8) Konseling Religius (Islami).
Konseling religius adalah proses
pemberian bantuan kepada individu agar mampu mengembangkan kesadaran dan
komitmen beragamanya sebagai hamba dan khalifah Allah yang bertanggung jawab
untuk mewujudkan kesejahteraan kebahagiaan hidup bersama, baik secara fisik
maupun psikis baik di dunia maupun di akhirat kelak. Konseling religius
memiliki beberapa prinsip yaitu kerahasiaan, kepercayaan, kecintaan berbuat
baik kepada orang lain, mengembangkan sikap, persaudaraan atau sikap damai
diantara sesame, memperhatikan masalah-masalah kaum muslimin, memiliki kebiasaan
untuk mendengarkan yang baik, memahami budaya orang lain, adanya kerjasama
antara ulama dan konselor, memiliki kesadaran hukum, bertujuan untuk
meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah dan menjadikan Nabi Muhammad
SAW sebagai model utama dalam kehidupan.
Konseling Religius juga memiliki
tujuan yaitu memiliki kesadaran akan hakikat dirinya sebagai hamba Allah,
memiliki kesadaran akan fungsi hidupnya di dunia sebagai khalifah, memahami dan
menerima keadaan dirinya sendiri secara sehat, memiliki kebiasaan yang sehat
dalam cara makan, tidur dan menggunakan waktu luang, bagi yang sudah
berkeluarga sebaiknya menciptakan iklim kehidupan keluarga yang fungsional,
memiliki komitmen diri untuk senantiasa mengamalkan ajaran agama
sebaik-baiknya, memiliki sikap dan kebiasaan belajar atau bekerja yang positif,
memahami masalah dan menghadapi secara wajar, tabah dan sabar, memahami faktor
yang menyebabkan timbulnya masalah atau stress, mampu mengubah persepsi atau
minat, mampu mengambil hikmah dari musibah yang dialami, dan mampu mengontrol
emosi dan berusaha meredamnya dengan introspeksi diri.
B. Pola-pola Bimbingan dan Konseling
Menurut
Edward C. Glanz (1964) dalam sejarah perkembangan pelayanan bimbingan di
institusi pendidikan, ada empat pola daar yaitu :
1. Pola Generalis
Corak
pendidikan dalam suatu institusi pendidikan berpengaruh terhadap kuantitas
usaha belajar siswa dan para staf pendidik dapat memebantu dalam perkembangan
kepribadian masing-masing siswa. Akhir dari pelayanan bimbingan adalah program
kontinyu yang ditunjukan kepada semua siswa, sehingga bimbingan hanya dianggap
perlu pada saat-saat tertentu saja.
2. Pola Spesiliasi.
Pola
ini mengemukakan bahwa pelayanan bimbingan di institusi pendidikan harus
ditangani oleh ahli-ahli bimbingan yang memiliki kemampuan khusus dalam cara
pelayanan bimbingan tertentu seperti testing psikologis, bimbingan karir dan
bimbingan dan konseling.
3. Pola Kurikuler.
Pada
pola ini kegiatan bimbingan di institusi pendidikan diusulkan dan dimasukkan
dalam kurikulum dan bentuk pengajaran khusus dalam rangka suatu kursus
bimbingan. Keuntungan dari pola
ini adalah adanya hubungan lansung yang terlibat dalam seluk beluk pengajaran,
sedangkan keburukannya adalah kenyataan bahwa kemajuan dalam pemahaman diri dan
perkembangan kepribadian tidak dapat diukur melalaui suatu tes hasil belajar.
4.
Pola Relasi-relasi Manusia dan Kesehatan
Mental.
Pola ini akan membuat orang lebih hidup
bahagia apabila dapat menjaga kesehatan mentalnya dan membina hubungan baik
dengan orang lain. Keuntungan dari pola dasar ini adalah peningkatan kerjasama
antara anggota-anggota staf pendidik di institusi pendidikan dan intergrasi
sosial di antara peserta didik dengan staf pendidik.
POLA 17 PLUS
a)
Pengembangan kehidupan pribadi,
yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami, menilai
bakat dan minat.
b)
Pengembangan kehidupan sosial,
yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami dan menilai
serta mengembangkan kemampuan hubungan sosial dan industrial yang harmonis,
dinamis, berkeadilan dan bermartabat.
c)
Pengembangan kemampuan belajar,
yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik menegmbangkan kemampuan
belajar dalam rangka mengikuti pendidikan sekolah/madrasah dan belajar secara
mandiri.
d)
Pengembangan karir,
yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami dan menilai
informasi serta memilih dan mengambil keputusan karir.
C.
Struktur
Organisasi Bimbingan dan Konseling
Pola organisasi bimbingan dan konseling di sekolah
tidak perlu selalu seragam strukturnya. Setiap sekolah dapat menyusun struktur
organisasi bimbingan dan konseling sesuai dengan besar kesilnya dan kepentingan
sekolah bersangkutan dalam pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling.
Perlu diingat bahwa organisasi yang baik bukanlah
sesuai dengan tipe atau model, tetapi dengan kekhasan kondisi dan situasi
sekolah atau lembaga pendidikan yang bersangkutan, dan dapat menampung serta
mengatur mekanisme kerjasama yang harmonis dan sinergis, serta memungkinkan
dapat terselenggarannya layanan bimbingan dan konseling yang baik di sekolah.
Agar suatu organisasi dapat mengkoordinasikan
kegiatan-kegiatan bimbingan dan konseling yang baik di sekolah, maka hal-hal
yang perlu diperhatikan diantaranya :
1.
Semua
staff sekolah (kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru mata pelajaran, wali
kelas, dan staf administrasi sekolah) harus dihimpun dalam satu wadah, sehingga
terwujud satu kesatuan bertindak dalam usaha membantu para siswa di dalam
mengatasi permasalahan-permasalahannya.
2.
Mekanisme
kerja bimbingan dan konseling harus tunggal, sehingga para siswa yang dibimbing
tidak menjadi bingung karena adanya berbagai bentuk layanan bimbingan dan
konseling yang dilakukan oleh petugas yang berbeda-beda.
3.
Tugas,
tanggung jawab dan wewenang dari masing-masing petugas bimbingan dan konseling
di sekolah harus dirinci dengan jelas dan tegas, sehingga masing-masing
personil bimbingan dan konseling akan memahami dan mengerti kewajiban dan
tanggung jawabnya sendiri.
1.
Pola Umum Bimbingan dan Konseling di Sekolah
Organisasi bimbingan dan konseling
di sekolah dapat diselenggarakan melalui pola organisasi yang berbeda-beda.
Perbedaan pola organisasi itu tampak pada peranan, wewenang dan tanggung jawab
dari penguasa sekolah, serta terletak pada kondisi sekolah yang bersangkutan,
tenaga atau personel yang tersedia, serta fasilitas yang ada.
Secara garis besarnya ada tiga
macam pola umum organisasi bimbingan dan konseling di sekolah digambarkan pada
organigram sebagai berikut di antaranya :
a.
Pola Umum Organisasi Pelayanan Bimbingan dan Konseling
Diagram 1 Organisasi
Pelayanan Bimbingan dan Konseling I.
Keterangan Organisasi :
a.
Kepala
sekolah sebagai coordinator bimbingan dan konseling adalah penanggung jawab
langsung serta pemegang kebijakan dalan pelaksanaan program bimbingan dan konseling
di sekolah.
b.
Kepala
sekolah dalam melaksanakan teknis bimbingan dan konseling di sekolah dapat
mengadakan kerjasama dengan Dewan Penasehat Bimbingan dan Konseling.
c.
Dewan
penasehat bimbingan dan konseling dapat pula mengadakan bentuk kerjasama dengan
guru pembimbing (konselor).
d.
Guru
Pembimbing (konselor) dalam melaksanakan tugasnya dapat mengadakan kerjasama
dengan guru mata pelajaran atau mengadakan konsultasi-konsultasi tertentu
dengan Dewan Penasehat Bimbingan dan Konseling, atau dengan arti lain guru
pembimbing (konselor) berperan melaksanakan administrasi dan pengorganisasian
kegiatan bimbingan dan konseling di sekolah dengan mendayagunakan semua potensi
yang ada dalam membantu para siswa yang menghadapi masalah.
Untuk melaksanakan program layanan bimbingan dan
konseling di sekolah di mana kepala sekolah berfungsi sebagai koordinator
bimbingan dan konseling dan sebagai pemegang
kebijakan dalam program bimbingan dan konseling, akan berfungsi efektif
apabila kepala sekolah memanfaatkan semua personel sekolah (dewan penasehat
bimbingan dan konseling, guru mata pelajaran, wali kelas dan staf sekolah
lainnya), serta kepala sekolah memahami mekanisme kegiatan administrasi dan
organisasi bimbingan dan konseling di sekolah.
Tugas dari Dewan Penasehat Bimbingan dan Konseling
hanya memberikan nasehat-nasehat yang dibutuhkan oleh kepala sekolah. Sedangkan
guru pembimbing (konselor) dan satf sekolah lainnya merupakan pembantu kepala
sekolah dan bertanggung jawab kepada kepala sekolah.
b.
Pola Umum Organisasi Bimbingan dan Konseling II.
Diagram 2
Organisasi Pelayanan Bimbingan dan Konseling II
Keterangan Organisasi :
a.
Kepala
Sekolah mendelegasikan kebijakan (policy)
pelaksanaan program bimbingan dan konseling kepada satu coordinator bimbingan
dan konseling yang diberikan tugas, tanggung jawab, dan wewenang penuh untuk
melaksanakan program bimbingan dan konseling.
b.
Coordinator
bimbingan dan konseling yang mempunyai tugas tanggung jawab, dan wewenang penuh
dalam pelaksanaan program layanan bimbingan dan konseling harus melibatkan guru
pembimbing (konselor) tetap sekolah, sebagai anggota staf coordinator bimbingan
dan konseling di sekolah.
c.
Coordinator
Bimbingan dan Konseling adalah terdiri dari individu-individu yang dengan
sungguh-sungguh tertarik dan berminat terhadap layanan bimbingan dan konseling,
walaupun berasal dari kompetensi dan kualifikasi pendidikan yang berbeda-beda.
d.
Pelaksanaan
layanan bimbingan dan konseling di sekolah secara praktis tetap diselenggarakan
oleh guru pembimbing (konselor sekolah).
e.
Guru
pembimbing atau konselor sekolah haruslah peka terhadap sifat-sifat dan tingkah
laku yang timbul, serta memiliki pula dinamika dalam melaksanakan kebijakan
(policy) ketetapan atau kepuasan dari coordinator bimbingan dan konseling.
f.
Pengembangan
program layanan bimbingan dan konseling cenderung sedikit lebih lamban dibawah
pola organisasi bimbingan dan konseling II dibandingkan dengan pola organisasi
bimbingan dan konseling I, hal ini disebabkan karena :
a)
Kebijakan
dalam program layanan bimbingan dan konseling ditetapkan oleh coordinator
bimbingan dan konseling, sehingga banyak waktu yang terbuang
b)
Kebijakan
yang telah ditetapkan oleh coordinator bimbingan dan konseling belum tentu
secara praktis bias dilaksanakan dan sulit untuk ditrima oleh para Guru
Pembimbing, konselor sekolah guru mata pelajaran, siswa dan staf sekolah
lainnya.
c.
Pola Umum Organisasi Bimbingan dan Konseling III.
Pola umum organisasi bimbingan dan konseling ini, di
mana Kepala Sekolah sebagai pemegang kebijakan (policy) dari keseluruhan program lainnya, bimbingan dan konseling
di sekolah menunjuk atau mengangkat beberapa wakil kepala sekolah, yaitu :
Wakil Kepala Sekolah I, Bidang Administrasi/Keuangan, Wakil Kepala Sekolah II,
Bidang Pengajaran, Wakil Kepala Sekolah: Bidang Bimbingan dan Konseling, dan
Wakil Kepala Sekolah: Bidang Pembinaan Kesiswaan.
Diagram 3
Organisasi Pelayanan Bimbingan dan Konseling III
Keterangan Organigram :
a.
Wakil
Kepala Sekolah III: Bidang Bimbingan dan Konseling mengkoordinasikan segala
kegiatan layanan Bimbingan dan konselinh di sekolah.
b.
Wakil
Kepala Sekolah III: Bidang Bimbingan dan Konseling dibantu oleh konselor, guru
pempimbing dan guru mata pelajaran/wali kelas dalam kegiatan perencanaan dan
pelaksanaan program layanan bimbingan dan konseling di sekolah.
c.
Penentuan
kebijakan (policy) dalam pelaksanaan
layanan bimbingan dan konseling di sekolah sepenuhnya menjadi tanggung jawab
kepala sekolah.
d.
Kepala
Sekolah di dalam menentukan kebijakan secara langsung dapat meminta bantuan
kepada petugas khusus atau tenaga ahli yaitu :
a)
Psikolog
Sekolah yang bertugas membantu di dalam menghadapi masalah-masalah atau
kesulitan – kesulitan yang dihadapi siswa berkaitan dengan aspek kepribadian.
b)
Psikiater
sekolah adalah bertugas membantu para siswa yang menghadapi masalah psikis
(gejala neurose, psikosa, dan gejala psikis lainnya).
c)
Dokter/Juru
rawat sekolah bertugas membantu para siswa yang menghadapi gangguan jasmani
atau kesehatannya, sehingga secara langsung berpengaruh terhadap proses belajar
mengajar di kelas, prestasi akademis yang diperolehnya.
d)
Pekerja
social (social worker), bertugas
membantu para siswa untuk menemukan serta menentukan factor-faktor yang menjadi
penyebab timbulnya masalah pada siswa. Misalnya lingkungan tempat tinggal yang
terlalu sesak, bising, berada disamping pusat perbelanjaan dan sebagainya.
e)
Rohkaniawan
bertugas membantu para siswa untuk melakukan ibadah dan/atau menjalankan ajaran
agama dan kepercayaannya.
DAFTAR PUSTAKA
Nurihsan, Ahmad Juntika. 2009. Bimbingan dan Konseling dalam Berbagai Latar
Kehidupan. Bandung: PT Refika Aditama.
Sukardi, Dewa Ketut. 2008.
Pengantar Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di Sekolah, Jakarta: Rineka
Cipta.
Salahudin, Anas. 2010. Bimbingan
dan Konseling. Bandung : CV. Pustaka Setia.
Juntika Nurihsan, Achmad. 2005. Strategi Layanan Bimbingan
dan Konseling.
Bandung : PT. Refika Aditama.
gurupembaharu.com/home/wp-content/plugins/.../download.php?id=2625
Jika ingin mengunduh file silahkan klik disni
0 komentar:
Posting Komentar