Couselor

Bimbingan dan Konseling ! Yes ! We Can !

Hima BK 2015

Upgrading pertama di Umbul Bandungan

Jumat, 03 Juli 2015

PAPER Model dan Pola Pelayanan BK serta Struktur Organisasi BK



Logo-Unnes-Warna.jpg

PAPER
Model dan Pola Pelayanan BK serta Struktur Organisasi BK

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Dasar-Dasar Bimbingan

Dosen pengampu:
Drs. Suharso,M.Pd., Kons.
Zakki Nurul Amin, S.Pd.

Oleh
Rombel 2
Ika Rosyadah Hari Afifah
1301414051


JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2014
A.     Model-model Bimbingan Konseling
Terdapat beberapa model bimbingan yang berkembangan yang dimulai dari periode awal sampai periode sekarang. Model-model tersebut yaitu :
a)      Model Bimbingan Periode Awal
a.       Model Parsonian.
Model ini merupakan buah pikiran atau gagasan dari Frank Parson yang berupaya menjodohkan karakteristik individu dengan  syarat-syarat yang dituntut suatu pekerjaan. Teori ini menekankan tentang bantuan yang dilakukan oleh konselor terhadap individu yang akan masuk ke dunia kerja. Teori yang dikembangkan oleh Frank Parson ini memberikan kontribusi yang sangat berarti kepada perkembangan bimbingan terutama yang menyangkut tiga aspek :
a)      Kegiatan menganalisis yang dilakukan sebelum memilih pekerjaan menggunakan tes psikologis untuk memperkirakan karakteristik individu.
b)      Bimbingan sebagai suatu program membantu individu sebelum masuk ke dunia kerja.
c)      Bimbingan model Parson memfokuskan pada aspek vokasional/ biro pekerjaan.
b.      Bimbingan Identik dengan Pendidikan
Yang mengemukakan model ini adalah Brewer melalui bukunya “Education as Guidance” yang dipublikasikan pada tahun 1932.Para ahli lain yang berpendapat sama sengan Brewer  adalah:
  1. Meyer mengemukakan “all education is now regocnized”
  2. Hawkes menyatakan bahwa “education is guidance and guidance is education”
  3. Hildreth berpendapat bahwa “tidak ada perbedaan yang berarti antara pendidikan dan bimbingan,baik dalam tujuan,metode,maupun hasil”.
Bimbingan identik dengan pendidikan,karena rangkaian kegiatan-kegiatannya meliputi semua kegiatan pendidikan.
b)      Model Bimbingan Periode Berikutnya
a.       Bimbingan sebagai Distribusi dan Penyesuaian
Pada tahun 1930 an, Koos dan Kefauver memperkuat pendapat dari Proctor yaitu siswa Sekolah Menengah Atas sangat membutuhkan bantuan dalam memilih studi. Koos da Keufauver mengemukakan bahwa bimbingan berfungsi distribusif dan penyesuaian dan harus melaksanakan dua fungsi pokok yaitu :
1)      Distribusi. Dalam hal ini konselor berupaya untuk membantu siswa dalam  menyusun tujuan-tujuannya baik dari bidang pekerjaan, sosial atau lainnya serta membantu untuk menemukan peluang dalam bidang pendidikan dan pekerjaan. Hal ini bertujuan agar siswa mampu pemahami dirinya dan lingkungannya.
2)      Penyesuaian. Dalam hal ini konselor membantu klien agar dapat menyesuaikan diri dan memadukan pengetahuan tentang dirinya dengan lingkungan yang terkait dengan tujuan yang ingin dicapai.
b.      Bimbingan sebagai distribusi dan penyesuaian mempunyai fungsi yaitu:
a)      Membantu siswa agar memperoleh tingkat efisisensi dan kepuasan yang tinggi dalam melakukan aktivitas.
b)      Membantu siswa untuk membantu memilih kegiatan diluar ssekolah.
c)      Membantu siswa agar dapat merumuskan perencanaan dan tujuan yang ingin dicapai.
d)     Membantu siswa untuk memperoleh informasi berupa faktor yang harus diperyimbangkan dalam merumuskan perencanaan, probabilitas keberhasilan, kegiatan yang ingin dipilih, program sekolah dan lain-lain.
e)      Bimbingan sebagai Proses Klinis.
c.       Bimbingan sebagai Pengambilan Keputusan
Bimbingan ini pertama kali diperkenalkan oleh Jones dan Myer. Dalam model ini, konselor memiliki tugas untuk mendorong siswa untuk memahami nilai-nilai dan menyertakannya dalam mengambil keputusan dan memberika informasi tentang peluang-peluang yang bermanfaat dari setiap alternative yang dipilih. Model ini juga memiliki asumsi bahwa keragaman antar individu sangat penting, permasalahn tidak dapat diselesaikan dengan sukses tanpa bantuan orang lain yang professional/konselor.
d.      Bimbingan sebagai Sistem Eklektik.
Bimbingan eklektik merupakan representasi dari pendapat dan teori Strang, Traxler, Erickson, Froechlich, Darley, Trorne dan lainnya. Model bimbingan eklektik memiliki beberapa assumsi dasar yaitu : individu memerlukan bantuan professional secara periodic dalam memahami dirinya dan memecahkan masalahnya, individu memiliki kemampuan untuk belajar dan membuat perencanaan, pemberian pelayanan yang berorientasi kepada teori tunggal memiliki keterbatasan dalam prosedur, teknik atau pandangan dibandingkan dengan yang bersumber dari beberapa teori.
c)      Model Bimbingan Kontemporer
1)      Bimbingan sebagai Konstelasi Layanan
Model bimbingan ini diperkenalkan pertama kali oleh Hoyt pada tahun 1962. Dia mengemukakan bahwa program bimbingan bukan hanya tanggung jawab konselor tetapi tanggung jawab bersama semua anggota sekolah, konselor merupakan figur kunci yang bertanggung jawab terhadap program bimbingan dan pekerjaan konselor yang lebih utama adalah menjalin kerjasama dengan para guru.
Hoyt juga meyakini bahwa tujuan layanan konseling akan tercapai dengan sukses apabila diintegrasikan dengan tujuan sekolah.
2)      Bimbingan Perkembangan
Model bimbingan ini dikembangkan oleh Wilson Little dan A.L Chapman yang menyusun buku Developmental Guidance in the Secondary School, Herman J. Peter dan Gail Farwell yang menyusun buku A Development Approach serta Robert Mathewson yang menyusun buku Guidance Policy and Practice. Bimbingan dan konseling yang dipandang sebagai proses perkembangan menekankan kepada upaya membantu semua peserta didik atau individu dalam semua fase perkembangannya yang menyangkut aspek-aspek vokasional, pendidikan, pribadi dan sosial ( Shertzer & Stone, 1971: 76; Robert D. Myrick dalam Sunaryo K, 1996: 99; dan Dedi Supardi; 1997;7). Model bimbingan pengembangan ini bersifat konprehensif meliputi semua rentang kehidupan, tidak hanya terbatas kepada aspek vokasional dan pendidikan, dan juga bersifat interpretatif.
3)      Bimbingan sebagai Ilmu Pengetahuan tentang Kegiatan yang Bertujuan
Metode bimbingan ini diperkenalkan pertama kali oleh Tiedeman dan Field pada tahun 1962. Menurut Tiedeman dan Field mendefinisikan bimbingan sebagai kegiatan professional yang menggunakan suatu ilmu pengetahuan tentang kegiatan yang bertujuan dalam struktur pendidikan yang spesifik. Pada hakekat pendidikan, posisi konselor sebagai pelengkap dan bimbingannya pun tidak termasuk ke dalam pendidikan. oleh karena itu, Tiedeman dan Filed menekankan bahwa bimbingan tersebut harus eksis dalam proses pendidikan.
4)      Bimbingan sebagai Rekostruksi Sosial.
Model bimbingan ini dikembangkan oleh Edward J. Shoben pada tahun 1962. Dia berpendapat bahwa konselor adalah leader dalam merenkonstruksi sosial disekolah seperti pengelompokan siswa. Dalam metode ini, tugas utama bimbingan adalah membantu siswa dalam mengembangkan potensinya dan menemukan cara mengekspresikan diri sesuai dengan norma masyarakat. Bimbingan yang dirancang harus sistematis dan mendorong siswa unruk menelaah nila-nilai dan untuk menjalani kehidupan yang teruji.
5)      Bimbingan sebagai Pengembangan Pribadi.
Model bimbingan ini dikembangkan oleh Chris D. Kehas pada akhir tahun 1960 an. model ini merupakan tahap awal dalam membangun kerangka kerja konseling di sekolah. Dalam model bimbingan ini yang menjadi perhatian utamanya adalah perkembangan individu. Kehas berpendapat bahwa teaching dan conseling merupakan dua pendekatan yang berhubungan dengan siswa yang bersifat komplementer dan kolaboratif yang sama-sama penting dalam rangka mencapai tujuan pendidikan.
6)      Konseling Keterampilan Hidup.
Konseling keterampilan hidup merupakan suatu model yang intergratif untuk membantu klien agar mampu mengembangkan keterampilan membantu dirinya sendiri. Konseling keterampilan hidup dikatakan integratif karena mengkombinasikan atau memanfaatkan berbagai pendekatan dari para ahli dalam proses pemberian bantuannya kepada klien.
Konseling keterampilan hidup dalam melaksanakan pendekatan didasarkan empat asumsi dasar yaitu banyak masalah yang dibawa kepada konselor merupakan refleksi hasil belajar klien, yang paling berpengaruh terhadap massalah klien adalah kelemahan klien dalam berpikir dan bertindak untuk mengatasi masalah, konselor yang efektif adalah mampu menciptakan supportive helping relationship dan melatih klien agar memiliki keterampilan berpikir dan bertindak, tujuan utama konseling adalah membantu klien agar mampu mengembangkan keterampilan berpikir dan bertindak dan dapat mengatasi masalahnya dan mencegah masalah di masa depan.
7)      Konseling Respectful.
Model ini diperkenalkan oleh Michael D. Andrea dan Judy Daniels. Kerangka kerja konseling ini menekankan tentang perlunya konselor menyadari bahwa pengembangan psikologis baik dirinya maupun klien yang dipengaruhi oleh faktor-faktor multidimensi seperti : spiritual/ identitas religious (R), Etnik (E), Identitas Seksual (S), Kematangan PSikologis (P), Kelas Sosial Ekonomi (E), Tentang Kronologis (C), Ancaman (T), Sejarah Keluarga (F), Keunikan Karakteristik Fisik (U), dan Lokasi Tempat Tinggal (L) yang dirangkum dalam nama model konseling RESPECTFUL. Model ini dikembangkan untuk membantu konselor agar mampu berpikir lebih holistik tentang kliennya dan mendorong para praktisi untuk mempertimbangkan kerangka kerja mereka dipengaruhi oleh berbagai faktor beragam.
8)      Konseling Religius (Islami).
Konseling religius adalah proses pemberian bantuan kepada individu agar mampu mengembangkan kesadaran dan komitmen beragamanya sebagai hamba dan khalifah Allah yang bertanggung jawab untuk mewujudkan kesejahteraan kebahagiaan hidup bersama, baik secara fisik maupun psikis baik di dunia maupun di akhirat kelak. Konseling religius memiliki beberapa prinsip yaitu kerahasiaan, kepercayaan, kecintaan berbuat baik kepada orang lain, mengembangkan sikap, persaudaraan atau sikap damai diantara sesame, memperhatikan masalah-masalah kaum muslimin, memiliki kebiasaan untuk mendengarkan yang baik, memahami budaya orang lain, adanya kerjasama antara ulama dan konselor, memiliki kesadaran hukum, bertujuan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah dan menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai model utama dalam kehidupan.
Konseling Religius juga memiliki tujuan yaitu memiliki kesadaran akan hakikat dirinya sebagai hamba Allah, memiliki kesadaran akan fungsi hidupnya di dunia sebagai khalifah, memahami dan menerima keadaan dirinya sendiri secara sehat, memiliki kebiasaan yang sehat dalam cara makan, tidur dan menggunakan waktu luang, bagi yang sudah berkeluarga sebaiknya menciptakan iklim kehidupan keluarga yang fungsional, memiliki komitmen diri untuk senantiasa mengamalkan ajaran agama sebaik-baiknya, memiliki sikap dan kebiasaan belajar atau bekerja yang positif, memahami masalah dan menghadapi secara wajar, tabah dan sabar, memahami faktor yang menyebabkan timbulnya masalah atau stress, mampu mengubah persepsi atau minat, mampu mengambil hikmah dari musibah yang dialami, dan mampu mengontrol emosi dan berusaha meredamnya dengan introspeksi diri.


B.     Pola-pola Bimbingan dan Konseling
Menurut Edward C. Glanz (1964) dalam sejarah perkembangan pelayanan bimbingan di institusi pendidikan, ada empat pola daar yaitu :
1.      Pola Generalis
Corak pendidikan dalam suatu institusi pendidikan berpengaruh terhadap kuantitas usaha belajar siswa dan para staf pendidik dapat memebantu dalam perkembangan kepribadian masing-masing siswa. Akhir dari pelayanan bimbingan adalah program kontinyu yang ditunjukan kepada semua siswa, sehingga bimbingan hanya dianggap perlu pada saat-saat tertentu saja.
2.      Pola Spesiliasi.
Pola ini mengemukakan bahwa pelayanan bimbingan di institusi pendidikan harus ditangani oleh ahli-ahli bimbingan yang memiliki kemampuan khusus dalam cara pelayanan bimbingan tertentu seperti testing psikologis, bimbingan karir dan bimbingan dan konseling.
3.      Pola Kurikuler.
Pada pola ini kegiatan bimbingan di institusi pendidikan diusulkan dan dimasukkan dalam kurikulum dan bentuk pengajaran khusus dalam rangka suatu kursus bimbingan. Keuntungan dari pola ini adalah adanya hubungan lansung yang terlibat dalam seluk beluk pengajaran, sedangkan keburukannya adalah kenyataan bahwa kemajuan dalam pemahaman diri dan perkembangan kepribadian tidak dapat diukur melalaui suatu tes hasil belajar.
4.      Pola Relasi-relasi Manusia dan Kesehatan Mental.
Pola ini akan membuat orang lebih hidup bahagia apabila dapat menjaga kesehatan mentalnya dan membina hubungan baik dengan orang lain. Keuntungan dari pola dasar ini adalah peningkatan kerjasama antara anggota-anggota staf pendidik di institusi pendidikan dan intergrasi sosial di antara peserta didik dengan staf pendidik.
POLA 17 PLUS
a)      Pengembangan kehidupan pribadi, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami, menilai bakat dan minat.
b)      Pengembangan kehidupan sosial, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami dan menilai serta mengembangkan kemampuan hubungan sosial dan industrial yang harmonis, dinamis, berkeadilan dan bermartabat.
c)      Pengembangan kemampuan belajar, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik menegmbangkan kemampuan belajar dalam rangka mengikuti pendidikan sekolah/madrasah dan belajar secara mandiri.
d)     Pengembangan karir, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami dan menilai informasi serta memilih dan mengambil keputusan karir.

C.     Struktur Organisasi Bimbingan dan Konseling
Pola organisasi bimbingan dan konseling di sekolah tidak perlu selalu seragam strukturnya. Setiap sekolah dapat menyusun struktur organisasi bimbingan dan konseling sesuai dengan besar kesilnya dan kepentingan sekolah bersangkutan dalam pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling.
Perlu diingat bahwa organisasi yang baik bukanlah sesuai dengan tipe atau model, tetapi dengan kekhasan kondisi dan situasi sekolah atau lembaga pendidikan yang bersangkutan, dan dapat menampung serta mengatur mekanisme kerjasama yang harmonis dan sinergis, serta memungkinkan dapat terselenggarannya layanan bimbingan dan konseling yang baik di sekolah.
Agar suatu organisasi dapat mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan bimbingan dan konseling yang baik di sekolah, maka hal-hal yang perlu diperhatikan diantaranya :
1.      Semua staff sekolah (kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru mata pelajaran, wali kelas, dan staf administrasi sekolah) harus dihimpun dalam satu wadah, sehingga terwujud satu kesatuan bertindak dalam usaha membantu para siswa di dalam mengatasi permasalahan-permasalahannya.
2.      Mekanisme kerja bimbingan dan konseling harus tunggal, sehingga para siswa yang dibimbing tidak menjadi bingung karena adanya berbagai bentuk layanan bimbingan dan konseling yang dilakukan oleh petugas yang berbeda-beda.
3.      Tugas, tanggung jawab dan wewenang dari masing-masing petugas bimbingan dan konseling di sekolah harus dirinci dengan jelas dan tegas, sehingga masing-masing personil bimbingan dan konseling akan memahami dan mengerti kewajiban dan tanggung jawabnya sendiri.
1.      Pola Umum Bimbingan dan Konseling di Sekolah
Organisasi bimbingan dan konseling di sekolah dapat diselenggarakan melalui pola organisasi yang berbeda-beda. Perbedaan pola organisasi itu tampak pada peranan, wewenang dan tanggung jawab dari penguasa sekolah, serta terletak pada kondisi sekolah yang bersangkutan, tenaga atau personel yang tersedia, serta fasilitas yang ada.
Secara garis besarnya ada tiga macam pola umum organisasi bimbingan dan konseling di sekolah digambarkan pada organigram sebagai berikut di antaranya :

a.        Pola Umum Organisasi Pelayanan Bimbingan dan Konseling
Diagram 1 Organisasi Pelayanan Bimbingan dan Konseling I.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEio9wFwkh3IsZhGLl4OH0zxdXEqdX2xMAhHT5_2LCgukx2cdMvYdFqGKtDNeNEijB2SSgswvXeWrNskZgqqfU4GoyDXruvpx7-GNXkMR-UddH9a3ari7irq3l1FQ3DYB7soSrjuXt_vK30/s320/diagram+1.png


Keterangan Organisasi :
a.       Kepala sekolah sebagai coordinator bimbingan dan konseling adalah penanggung jawab langsung serta pemegang kebijakan dalan pelaksanaan program bimbingan dan konseling di sekolah.
b.      Kepala sekolah dalam melaksanakan teknis bimbingan dan konseling di sekolah dapat mengadakan kerjasama dengan Dewan Penasehat Bimbingan dan Konseling.
c.       Dewan penasehat bimbingan dan konseling dapat pula mengadakan bentuk kerjasama dengan guru pembimbing (konselor).
d.      Guru Pembimbing (konselor) dalam melaksanakan tugasnya dapat mengadakan kerjasama dengan guru mata pelajaran atau mengadakan konsultasi-konsultasi tertentu dengan Dewan Penasehat Bimbingan dan Konseling, atau dengan arti lain guru pembimbing (konselor) berperan melaksanakan administrasi dan pengorganisasian kegiatan bimbingan dan konseling di sekolah dengan mendayagunakan semua potensi yang ada dalam membantu para siswa yang menghadapi masalah.
Untuk melaksanakan program layanan bimbingan dan konseling di sekolah di mana kepala sekolah berfungsi sebagai koordinator bimbingan dan konseling dan sebagai pemegang  kebijakan dalam program bimbingan dan konseling, akan berfungsi efektif apabila kepala sekolah memanfaatkan semua personel sekolah (dewan penasehat bimbingan dan konseling, guru mata pelajaran, wali kelas dan staf sekolah lainnya), serta kepala sekolah memahami mekanisme kegiatan administrasi dan organisasi bimbingan dan konseling di sekolah.
Tugas dari Dewan Penasehat Bimbingan dan Konseling hanya memberikan nasehat-nasehat yang dibutuhkan oleh kepala sekolah. Sedangkan guru pembimbing (konselor) dan satf sekolah lainnya merupakan pembantu kepala sekolah dan bertanggung jawab kepada kepala sekolah.

b.      Pola Umum Organisasi Bimbingan dan Konseling II.
Diagram 2
Organisasi Pelayanan Bimbingan dan Konseling II

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj0KbYZyuWkf8Hj4NGNv8giE7O8w7-VaEBQgy8ToeVrZ3Q8E5t_9UJluLAf8JhQHE3wfjd3xkQMNI7dwIbdgt8cwapM4bx22w4Bszv1KDRZy2_oAdj1fmKd4FVs7sJc1oDVImKvvB7Z_q8/s320/diagram+2.png
Keterangan Organisasi :
a.       Kepala Sekolah mendelegasikan kebijakan (policy) pelaksanaan program bimbingan dan konseling kepada satu coordinator bimbingan dan konseling yang diberikan tugas, tanggung jawab, dan wewenang penuh untuk melaksanakan program bimbingan dan konseling.
b.      Coordinator bimbingan dan konseling yang mempunyai tugas tanggung jawab, dan wewenang penuh dalam pelaksanaan program layanan bimbingan dan konseling harus melibatkan guru pembimbing (konselor) tetap sekolah, sebagai anggota staf coordinator bimbingan dan konseling di sekolah.
c.       Coordinator Bimbingan dan Konseling adalah terdiri dari individu-individu yang dengan sungguh-sungguh tertarik dan berminat terhadap layanan bimbingan dan konseling, walaupun berasal dari kompetensi dan kualifikasi pendidikan yang berbeda-beda.
d.      Pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling di sekolah secara praktis tetap diselenggarakan oleh guru pembimbing (konselor sekolah).
e.       Guru pembimbing atau konselor sekolah haruslah peka terhadap sifat-sifat dan tingkah laku yang timbul, serta memiliki pula dinamika dalam melaksanakan kebijakan (policy) ketetapan atau kepuasan dari coordinator bimbingan dan konseling.
f.       Pengembangan program layanan bimbingan dan konseling cenderung sedikit lebih lamban dibawah pola organisasi bimbingan dan konseling II dibandingkan dengan pola organisasi bimbingan dan konseling I, hal ini disebabkan karena :
a)      Kebijakan dalam program layanan bimbingan dan konseling ditetapkan oleh coordinator bimbingan dan konseling, sehingga banyak waktu yang terbuang
b)      Kebijakan yang telah ditetapkan oleh coordinator bimbingan dan konseling belum tentu secara praktis bias dilaksanakan dan sulit untuk ditrima oleh para Guru Pembimbing, konselor sekolah guru mata pelajaran, siswa dan staf sekolah lainnya.

c.    Pola Umum Organisasi Bimbingan dan Konseling III.
Pola umum organisasi bimbingan dan konseling ini, di mana Kepala Sekolah sebagai pemegang kebijakan (policy) dari keseluruhan program lainnya, bimbingan dan konseling di sekolah menunjuk atau mengangkat beberapa wakil kepala sekolah, yaitu : Wakil Kepala Sekolah I, Bidang Administrasi/Keuangan, Wakil Kepala Sekolah II, Bidang Pengajaran, Wakil Kepala Sekolah: Bidang Bimbingan dan Konseling, dan Wakil Kepala Sekolah: Bidang Pembinaan Kesiswaan.

Diagram 3
Organisasi Pelayanan Bimbingan dan Konseling III



  https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgI6GtXqJ1UqUs7fx2nOtnkl8GD3nMEoLqv2xx0lpn2D0UHlllw-rSgSaJt0tFiEPc8z7aCKn3DwbET4YV5Cv8iQKQUzsgJltzwS3DpIPibOHWcP5o2B2q1qDnnkjTCZClOwORsB1IEZ-M/s320/diagram+3.png



Keterangan Organigram :
a.       Wakil Kepala Sekolah III: Bidang Bimbingan dan Konseling mengkoordinasikan segala kegiatan layanan Bimbingan dan konselinh di sekolah.
b.      Wakil Kepala Sekolah III: Bidang Bimbingan dan Konseling dibantu oleh konselor, guru pempimbing dan guru mata pelajaran/wali kelas dalam kegiatan perencanaan dan pelaksanaan program layanan bimbingan dan konseling di sekolah.
c.       Penentuan kebijakan (policy) dalam pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling di sekolah sepenuhnya menjadi tanggung jawab kepala sekolah.
d.      Kepala Sekolah di dalam menentukan kebijakan secara langsung dapat meminta bantuan kepada petugas khusus atau tenaga ahli yaitu :

a)      Psikolog Sekolah yang bertugas membantu di dalam menghadapi masalah-masalah atau kesulitan – kesulitan yang dihadapi siswa berkaitan dengan aspek kepribadian.
b)      Psikiater sekolah adalah bertugas membantu para siswa yang menghadapi masalah psikis (gejala neurose, psikosa, dan gejala psikis lainnya).
c)      Dokter/Juru rawat sekolah bertugas membantu para siswa yang menghadapi gangguan jasmani atau kesehatannya, sehingga secara langsung berpengaruh terhadap proses belajar mengajar di kelas, prestasi akademis yang diperolehnya.
d)     Pekerja social (social worker), bertugas membantu para siswa untuk menemukan serta menentukan factor-faktor yang menjadi penyebab timbulnya masalah pada siswa. Misalnya lingkungan tempat tinggal yang terlalu sesak, bising, berada disamping pusat perbelanjaan dan sebagainya.
e)      Rohkaniawan bertugas membantu para siswa untuk melakukan ibadah dan/atau menjalankan ajaran agama dan kepercayaannya.




DAFTAR PUSTAKA

Nurihsan, Ahmad Juntika. 2009.  Bimbingan dan Konseling dalam Berbagai Latar Kehidupan. Bandung: PT Refika Aditama.
Sukardi, Dewa Ketut. 2008. Pengantar Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di Sekolah, Jakarta: Rineka Cipta.
Salahudin, Anas. 2010. Bimbingan dan Konseling. Bandung : CV. Pustaka Setia.
Juntika Nurihsan, Achmad. 2005. Strategi Layanan Bimbingan dan Konseling.
Bandung : PT. Refika Aditama.
gurupembaharu.com/home/wp-content/plugins/.../download.php?id=2625


Jika ingin mengunduh file silahkan klik disni 



0 komentar:

Posting Komentar