OBSERVASI
MAKALAH
disusun guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Pemahaman Individu Non Tes
Dosen Pengampu
Dr. Anwar Sutoyo, M.Pd
Drs. Heru Mugiarso, M.Pd.,Kons.
Oleh
Rombel 2
Ellia
Fetika Sari (1301414052)
Ika
Rosyadah Hari A (1301314051)
Nita Ariska Nurarifin (1301314055)
Sri
Wahyu Setianingsih (1301314070)
Renny
Sulistyoningrum (1301314082)
JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan pada kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan tugas makalah sosiologi yang berjudul “Observasi” tepat pada waktunya.
Kami sampaikan terimakasih kepada sahabat-sahabat yang
telah membantu kami atas terselesaikannya makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah yang kami selesaikan ini
masih jauh dari kesempurnaan. Seperti halnya pepatah “ tak ada gading yang tak
retak “, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran dari semua kalangan
yang bersifat membangun guna kesempurnaan makalah kami selanjutnya.
Akhir kata, kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Serta kami berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi semua kalangan. Amin
Semarang, 28 Maret 2015
Penulis
ii
|
DAFTAR
ISI
Halaman Judul
|
........................................................................................................
|
i
|
Kata Pengantar
|
........................................................................................................
|
ii ii
|
Daftar Isi
|
.........................................................................................
|
Ii
|
Bab 1
|
Pendahuluan
..................................................................
|
1
|
|
1.1 Latar
Belakang ..........................................................
|
1
|
|
1.2 Rumusan
Masalah .....................................................
|
1
|
|
1.3 Tujuan
.......................................................................
|
1
|
Bab II
|
Pembahasan
...................................................................
|
2
|
|
2.1
Pengertian Observasi
.................................................
|
2
|
|
2.2 Bentuk-Bentuk
Observasi ..........................................
2.3 Beberapa
Kelemahan Obsevasi..................................
2.4 Beberapa Kelemahan Obsevasi
..................................
|
2
|
|
2.5
Observasi dalam Konseling .......................................
|
7
|
Bab III
|
Penutup
..........................................................................
|
9
|
|
3.1 Kesimpulan ...............................................................
|
9
|
|
3.2 Saran
.........................................................................
|
9
|
|
DAFTAR
PUSTAKA ...................................................
|
10
|
iii
|
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Metode
observasi merupakan metode assesment yang tertua dalam psikologi. Metode
observasi telah digunakan untuk mengobservasi perilaku verbal maupun non -
verbal. Begitu pula halnya dengan ujian masuk perguruan tinggi. Metode
observasi paling banyak digunakan dalam mengkaji perkembangan dan pendidikan
anak. Observasi langsung merupakan bagian penting dari proses penemuan, dalam
pengajaran maupun penelitian.
Observasi
merupakan sarana untuk menggeneralisasi hipotesis atau ide. Pemahaman yang
diperoleh dari observasi tersebut dapat dijadikan landasan untuk merancang
aktivitas yang akan dilakukan dalam proses pembelajaran di sekolah. Observasi
dapat memberikan gambaran yang lebih realistik tentang suatu peristiwa atau
perilaku, dibandingkan metode pengumpulan informasi lainnya. Melalui observasi
dimungkinkan untuk mengukur perilaku anak yang tidak dapat diukur dengan alat
lain, misalnya pada anak yang memiliki kemampuan bahasa terbatas dan mengalami
kesulitan .melalui observasi dimungkinkan bagi peneliti atau praktisi untuk
memahami perilaku anak dengan lebih baik , observasi dapat menjadi sarana dalam
melakukan evaluasi.
1.2. Rumusan
Masalah
1.
Apakah
observasi itu?
2.
Apakah
bentuk-bentuk observasi itu?
3.
Apakah kelemahan dalam metode observasi itu?
4.
Apakah alat bantu yang digunakan dalam observasi?
5.
Bagaimana penerapan observasi di dalam dunia konseling?
1.3. Tujuan
1. Untuk
mengetahui pengertian observasi.
2. Untuk
mengetahui bentuk-bentuk dari metode observasi.
3. Untuk
mengetahui kelemahan dari metode observasi
4. Untuk
mengetahui alat bantu yang digunakan dalam metode observasi.
5. Untuk
mengetahui penerapan observasi dalam dunia konseling.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Observasi
Secara
garis besar terdapat dua rumusan tentang pengertian observasi, yaitu pengertian
secara sempit dan secara luas. Dalam arti sempit, observasi berarti pengamatan secara langsung terhadap
gejala yang diteliti. Dalam arti luas observasi meliputi pengamatan yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung
terhadap obyek yang sedang diteliti. Dalam rumusan di atas ada satu kata kunci
yaitu “pengamatan”. Dilihat dari segi psikologi, istilah “pengamatan” tidak
sama dengan melihat, sebab melihat hanya dengan menggunakan penglihatan (mata);
sedang dalam istilah pengamatan terkandung
makna bahwa dalam melakukan pemahaman terhadap subyek yang diamati dilakukan
dengan menggunakan pancaindra yaitu dengan penglihatan,
pendengaran, penciuman, bahkan bila dipandang perlu dengan penggunaan pencecap dan peraba.
Observasi
harus dilakukan dengan menggunakan pancaindra tidak boleh hanya dengan
salahsatunya saja, karena tidak semua gejala yang diamati bisa dikenali dengan
melakukan penglihatan saja, kadang
memang ada gejala yang tidak bisa ditangkap oleh mata tetapi dengan hidung, telinga,
lidah, dan sebagainya. Di sisi lain, untuk meyakinkan hasil penglihatan kadang
perlu dikuatkan dengan data dari penciuman, pendengaran, pencecap dan peraba.
Bahkan manakala observasi digunakan sebagai alat pengumpul data penelitian kualitatif. Maka pengamatan
yang dilakukan observar bukan hanya sebatas gejala yang Nampak saja, tetapi
lebih jauh harus mampu menembus latar belakang mengapa gejala itu terjadi.
Di
samping proses pengamatan, dalam melakukan observasi harus dilakukan dengan
penuh perhatia (attention). Hal ini
berarti bahwa dalam kegiatan observasi bukan hanya proses fisik tetapi juga proses psikis. Hal ini bisa dijelaskan bahwa ketika seseorang
melakukan obsevasi, bukan hanya kegiatan melihat, mendengar, mencium saja yang
berjalan; tetapi lebih dari itu adalah melihat, mendengar, dan mencium yang
disertai dengan pemusatan perhatian,
aktivitas, dan kesadaran terhadap
obyek atau gejala-gejala tertentu yang sedang diobservasi.
Anna
Djumhana (1983 : 201) juga mengingatkan, bahwa observasi juga harus dilakukan
secara sistematis dan bertujuan, artinya dalam melakukan
observasi observer tidak bisa melakukan hanya secara tiba-tiba dan tanpa
perencanaan yang jelas. Dalam melakukan observasi harus jelas apa tujuannya,
gejala-gejala apa saja yang perlu diamati, karakteristik masing-masing gejala,
model pencatatannya, analisisnya, dan pelaporan hasilnya.
2.2.
Bentuk-Bentuk Observasi
Ada
beberapa bentuk observasi yang lazim dilakukan oleh konselor dan atau peneliti,
yaitu:
1. Dilihat
dari keterlibatan subyek terhadap obyek yang sedang diobservasi
(observee), observasi bisa dibedakan menjadi tiga
bentuk yaitu:
a. Observasi partisipan, yaitu bila pihak yang melakuka observasi turut
serta atau berpartisipasi dalam kegiatan yang sedang dilakukan oleh subyek yang
sedang diobservasi. Observasi partisipan juga sering digunakan dalam penelitian
eksploratif. Observasi partisipan memiliki kelebihan,
yaitu observasi bisa jadi tidak mengetahui bahwa mereka sedang diobservasi,
sehingga perilaku yang Nampak diharapkan wajar atau tidak dibuat-buat. Di sisi
lain, observasi partisipan mengandung kelemahan, utamanya berkaitan dengan
kecermatan dalam melakukan pengamatan dan pencatatan, sebab ketika observer
terlibat langsung dalam aktivitas yang sedang dilakukan observee, sangat
mungkin observer tidak bisa melakukan pengamatan dan pencatatan secara detail.
b. Observasi non-partisipan, yaitu apabila observer
tidak terlibat secara langsung atau tidak berpartisipasi dalam aktivitas yang
sedang dilakukan oleh seorang observee. Observasi non- partisipan ini memiliki
kelebihan, yaitu observer bisa melakukan pengamatan dan pencatatan secara
detail dan cermat segala aktivitas yang dilakukan oleh observee. Di sisi lain,
bentuk ini memiliki kelemahan yaitu bila observee mengetahui bahwa mereka
sedang diobservasi, maka perilakunya biasanya dibuat-buat atau tidak wajar.
Akibatnya, observer tidak mendapatkan data yang asli.
c. Observasi
kuasi-partisipan, yaaitu bila
observer telibat dalam sebagian kegiatan yang sedang dilakukan oleh seorang
observee, sementara pada sebagian kegiatan yang lain observer tidak melibatkan
diri. Bentuk ini merupakan jalan tengah untuk mengatasi kelemahan untuk kedua
bentuk observasi di atas, dan sekaligus memanfaatkan kelebihan dari kedua
bentuk tersebut. Persoalan utama tetap terletak pada tahu atau tidaknya
observee bahwa mereka sedang diamati, maka masih mungkin perilaku yang muncul
masih ada kemungkinan tidak wajar.
2. Dilihat
dari segi situasi lingkungan di mana subyek diobservasi, Gall dkk (2003 : 254)
membedakan observasi menjadi dua, yaitu:
a. Observasi
naturalistik (naturalistic observation) jika
observasi itu dilakukan secara alamiah atau dalam kondisi apa adanya. Melihat
pertandingan sepak bola, guru mengamati murid ketika sedang main di halam
sekolah, seorang penneliti mengamati perilaku binatang di hutan atau kebun
binatang adalah contoh dari obsevasi naturalistic.
b. Observasi
eksperimental (experimental observation) jika
observasi itu dilakukan terhadap subyek dalam suasan eksperimen atau kondisi
yang diciptakan sebelumnya.
3. Khususnya
bentuk observasi sistematis, Blocher (1987) mengelompokan ke dalam tiga bentuk
dasar observasi, yaitu:
a. Observasi
naturalistic, yaitu ketika seseorang ingin mengobservasi
subyek (observee) dalam kondisi alami atau natural.
b. Metode
survai, yaitu ketika seseorang
mensurvai (mengobservasi) contoh-contoh perilaku tertentu dari individu yang
ingin kita nilai.
c. Experimentasi, yaitu
ketika seseorang tidak hanya mengobsevasi tetapi memaksakan kondisi-kondisi
sfesifik terhadap subyek yang diobservasi.
4. Mendasarkan
pada tujuan dan lapangannya, Hanna Djumhana (1983 : 205) mengelompokan
observasi sebagai berikut:
a. Finding observation, yaitu
kegiatan observasi untuk tujuan penjajagan. Dalam melakukan obsevasi ini
observer belum mengetahui dengan jelas apa yang harus diobservas, ia hanya
mengetahui bahwa dia akan menghadapi suatu situasi saja. Selama berhadapan
dengan situasi itu ia bersikap menjajagi saja, kemudian ia mengamati berbagai
variable yang mungkin dapat dijadikan bahan untuk menyusun observasi yang lebih
terarah.
b. Direct observation, yaitu
observasi yang menggunakan “daftar isian” sebagai pedomannya. Daftar isi bisa
berupa checklist kategiri tingkah
laku yang diobservasi. Pada umumnya pembuatan daftar isian ini didasarkan pada
data yang diperoleh dari finding
observation danatau penjabaran dari konsep dan teori yang dipandang sudah
mapan. Dalam situasi konseling, kedua bentuk observasi ini dapat diterapkan. Finding observation diterapkan apabila
konselor mersa tidak perlu menggunakan berbagai daftar isian serta ingin
mendapatkan kesan tentang tingkah laku konseli yang spontan atau apa adanya.
Oleh sebab itu, konselor seyogyanya benar-benar kompeten dalam masalah ini.
Dalam direct observation, konselor menyediakan sebuah daftar berupa
penggolongan tingkah laku atau rating. Selama
konseling berlangsung atau segera setelah konseling berakhir, konselor mengisi
daftar tersebut dengan caramemberi tanda pada penggolongan tingkah laku yang
sesuai dengan tingkah laku konseli selama proses konseling berlangsung. Cara
ini lebih mudah dibandingkan dengan cara finding
observation, tetapi kelemahannya
adalah sering terjadi tingkah laku yang lain daripada yang digolongkan pada
daftarnya, sehingga ada kecenderungan untuk menggolongkannya secara paksa atau
mengabaikannya sama sekali.
5. Mendasarkan
pada tingkat kesempurnaannya dan pelatihan yang disyaratkan. Gibson dan
Mitchell (1995 : 261) mengklasifikasikan observasi sebagai berikut:
a. Level pertama, iobservasi informasi kasual (casual
information observation). Observasi jenis ini banyak
dilakukan dalam kehidupan sehari-hari dengan tidk terstruktur, dan biasanya
observasi-observasi yang tidak terencana yang memberikan kesan kesan kasual
yang terjadi sehari-hari oleh orang-orang didekat kita. Tidak ada pelatihan atau
instrumentasi yang diharapkan atau disyaratkan.
b. Level kedua, observasi berstruktur (guided
observation). Terencana, diarahkan pada sebuah maksud
atau tujuan. Observasi pada tingkat ini biasanya difasilitasi oleh instrument
yang sederhana seperti checklist dan
skala penelitian. Beberapa training juga diperlukan.
c. Level ketiga, lebel klinis. Observasi,
selalu diperpanjang, dan sering dengan kondisi-kondisi yang terkontrol.
Teknik-teknik dan instrument-instrumen direncanakan dengan baik, dan digunakan
melalui pelatihan secara khusus, biasanya diberikan pada level doctoral.
2.3. Beberapa Kelemahan Obsevasi
Gibson
& Mitchell (1995 : 263), Mc. Millan &Schumacher (2001 : 276) menunjukan
beberapa kelemahan observasi disarikan sebagai berikut:
1. Kemampuan
manusia untuk menyimpan secara akurat terhadap kesan yang diperoleh dari hasil
pengamatan sangat terbatas, baik dalam hal jumlah maupun lamanya kesan
(informasi) itu bisa disimpan. Akibatnya, mungkin ada sesuatu yang mungkin
hilang atau tidak lengkap. Gibson & Mitchell (1995 : 263) mencatat bahwa
tidak banyak orang yang mampu menyimpan kesan yang amat luas dan detail. Oleh
sebab itu, para observer perlu alat bantu obsevasi. Seorang peneliti yang
melakukan observasi terhadap sejumlah siswa dalam satu kelas tentu akan
mengalami kesulitan jika harus menyimpan informasi berapa anak yang ada dalam
kelas itu, berapa jumlah anak laki-laki dan berapa jumlah anak perempuan, siapa
duduk dekat siapa, dan bajunya berwarna apa. Apalagi jika informasi itu harus disimpan
dalam waktu lama.
2. Cara
pandang individu terhadap obyek yang sama juga belum tentu sama, sebab setiap
orang memiliki frame yang unik yang
mungkin berbeda dengan yang lain. Akibatnya, kesan yang diperoleh juga tidak
sama dan penilaiannya pun menjadi tidak sama. Mahkamah agung yang memenangkan
gugatan penggugat yang merasa “dicurangi” dan kemudian memerintahkan pemilihan
ulang untuk beberapa daerah kabupaten yang dinilai tidak wajar akan dipandang
obyektif bagi pihak yang mengajukan gugatan, tetapi dianggap tidak obyektif
bagi tergugat yang telah memenangkan pemilihan. Hal ini dimungkinkan dengan
kepentingannya yang memang berbeda. Gibson & Mitchell (1995 : 263)
menunjukan bahwa hasil pengamatan sangat dipengaruhi oleh daya adaptasi,
kebiasaan, hasrat atau keinginan, prasangka, proyeksi.
3. Kesan
seseorang terhadap suatu obyek juga tidak selalu sama. Akibatnya penafsiran dan
penilaian yang diberikan terhadap obyek yang sama menjadi tidak sama. Seseorang
yang memegang teguh norma social ketika melihat seorang remaja rambutnya
disemir dengan warna-warni plus mengenakan anting, mungkin akan punya kesan
bahwa remaja itu nakal. Tetapi bagi observer lain yang mudah menerima
nilai-nilai baru akan mempunyai kesan yang berbeda, mungkin tampilan remaja
tersebut sesuai dengan perkembangan zaman, bahkan ia menilainya positif.
4. Ada
kecenderungan pada manusia dalam menilai sesuatu menjadi terlalu tinggi atau
terlalu rendah mendasarka pada sifat-sifat yang menonjol atau “pagar bulan” (halo effect). Seorang observer dalam memberikan
nilai terhadap seorang siswa kadang masih terpengaruh ia “anak siapa”, atau
memberi penilaian dengan pertimbangan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan
aspek yang sedang dinilai. Tidak jarang orang memberikan penilaian terhadap
seseorang yang dengan menilai tamplannya, padahal tampilan tidak menggambarka
realitas yang sesungguhnya.
Ada
beberapa cara yang bisa dilakukan konselor atau peneliti untuk mengatasi
kelemahan penggunaan metode observasi, yaitu:
- Untuk mengatasi kelemahan akibat keterbatasan manusia dalam menyimpan hasil pengamatan baik dalam hal jumlah kesan yang bisa disimpan maupun lamanya waktu menyimpan, maka peneliti bisa memanfaatkan alat bantu seperti tape recorder atau camera video yang mampu menyimpan gambar maupun suara dalam jumlah yang nyaris tak terbatas.
- Untuk mengatasi kelemahan yang disebabkan cara pandang individu terhadap objek yang sama belum tentu didapat kesan dan penafsiran yang sama-lantaran setiap orang memiliki frame yang unikyang mungkin berbeda dengan yang lain-; maka peneliti bisa menerapkan definisi operasonal tentang objek yang diobservasi misalnya dengan menetapkan ciri-ciri variabel yang menjadi fokus pengamatan. Ciri-ciri itu bisa dirumuskan sebelumnya dengan melihat konsep-konsep teoritis yang dipandang telah matang.
- Untuk mengatasi kelemahan yang disebabkan karena kesan seseorang terhadapsuatu objek yang tidak selalu sama, akibat penafsiran dan penilaian meskipun terhadap objek yang sama, peneliti bisa menetapkan parameter-parameter objek atau perilaku yang sedang diamati. Misalnya untuk menilai seorang murid tergolong nakal atau tidak, peneliti bisa menetapkan parameter untuk anak seusia itu, di lingkungan sekolah, dari sisi tata tertib sekolah, norma sekolah, norma masyarakat, dan norma hukum. Dengan norma yang jelas itu dimungkinkan variasi penilaiannya tidak terlalu jauh.
- Untuk mengatasi kelemahan akibat kecenderungan manusia dalam menilai sesuatu menjadi terlalu tinggi atau terlalu rendah mendasarkan pada sifat-sifat yang menonjol (hallo effect), peneliti bisa melibatkan sejumlah observer yang lebih banyak untuk mengurangi subjektivitas dalam penilaian.
- Untuk mengatasi kelemahan akibat tampilan yang dibuat oleh observee, observer bisa melakukan kontrol dengan menggunakan teknik yang berbeda, sumber yang berbeda, atau melihat sisi lain dari observee. Misal: untuk mengetahui apakah seseorang benar-benar keluarga miskin-yang berhak mendapatkan layanan khusus-atau tidak, observer bisa melakukan (1)interview kepada temannya, (2) tetangga terdekat, (3) mengamati bukan hanya pakaiannya tetapi juga perhiasan yang dikenakan, atau handphone yang digunakan.
- Di samping itu semua, untuk mengatasi kelemahan-kelemahan akibat kehadiran peneliti atau observer yang mengakibatkan munculnya perilaku yang tidak wajar, peneliti seyogianya tidak memberi tahu kepada observee bahwa mereka sedang diamati dan atau memanfaatkan CCTV. Dengan alat ini memungkinkan gambar kegiatan subjek yang sedan diobservasi bisa dikirim ke ruangan lain untuk dilakukan observasi dan sekaligus evaluasi tanpa mengganggu atau mempengaruhi perilaku subjek yang sedang diobservasi, dan akan lebih baik lagi jika kamera CCTV itu dipasang di tempat yang tersembunyi. Disisi lain, hasil rekaman kamera CCTV ini memungkinkan untuk disimpan dalam waktu lama dalam hardisk komputer, sehingga sewaktu-waktu diperlukan untuk di tampilkan kembalin bisa dilakukan dengan mudah.
Meng-observasi
aktifitas manusia tidak sesederhana mengobservasi proses benda-benda mati atau
aktifitas binatang yang tidak memiliki pikiran dan perasaan, sebab binatang dan
benda mati ketika diamati mereka tidak berubah perilakunya sehingga gejala yang
nampak selalu wajar. Hal ini sangat berbeda dengan observasi terhadap manusia,
sebab kondisi internal dan eksternal mereka sangat pengaruh terhadap
gejala-gejala (perilaku) yang muncul. Hanna Djumhana (19983: 202) mengingatkan
bahwa mengadakan observasi yang cermat dan kemudian mengambil kesimpulan yang
tepat bukanlah hal yang mudah, sebab observer hanya mampu membaca perilaku yang
teramati, sedang apa yang dihayati dan dipikirkan seseorang ketika melakukan
aktifitas tertentu tidak bisa diduga dan disimpulkan. Mc. Millan dan schumacher
(2001: 274), mengingatkan agar sebelum dan selama observasi, observer selalu
memperhatikan hal-hal yang selanjutnya dikelompokan menjadi hal-hal yang
berkaitan dengan tujuan, variabel, dan teknik pelaksanaan observasi berikut.
Hal-hal yang
berkaitan dengan tujuan dan variabel penelitian
a. Tujuan
observasi, pahami lebih dahulu tujuan umum maupun tujan-tujuan khusus observasi.
Dengan memahami dan memperhatikan tujuan observasi diharapkan observer tidak
mudah tertarik kepada gejala-gejala yang sebenarnya tidak ada kaitannya denga
tujuan observasi.
b. Fokus
(materi) observasi, apa yang sebenarnya hendak diobservasi seyogianya sudah
dikuasai dengan baik oleh observer sebelum melakukan observasi. Ibarat
seseorang yang hendak membeli seekor kambing seyogianya ia sudah tahu persis
gambaran kambing yang hendak dibeli, jangan sampai terjadi ingin membeli
“kambing” ternyata yang dibeli adaah “anjing’ meskipun sama-sama berbulu dan
berkaki empat. Demikian pula jika seseorang hendak meneliti masalah sikap,
minat, dan lain-lain, seyogianya mereka memahami benar konsep tentang minat
atau minat.
c. Variabel-variabel
observasi; jika objek atau materi observasi itu adalah “kambing”,
variabel-variabel itu adalah bagian-bagian penting yang pasti ada atau menjadi
bagian penting dari binatang yang namanya “kambing”; (misal kepala, badan,
kaki, ekor, dan lain sebagainya). Jika benda yang hendak diobservasi itu adalah
“’baju” maka variabel yang perlu diperhatikan dalam observasi adalah potongan
badan, lengan, krah, saku. Model, pakaian, coak pakaian, dan lain-lain.
d. Sub
variabel; terkadang suatu objek bukan hanya terdiri dari satu variabel saja,
tetapi ia terdiri dari sub-sub variabel; ibarat salah satu variabel dalam objek
observasi adalah “kepala kambing”, maka pada kepala kambing itu pun ada mata,
telinga, hidung, tanduk, dan bulu. Oleh sebab itu, seseorang observer yang
baiktentu tidak cukup bila hanya mengobservasi salah satu sub-variabel kemudian
hasilnya disimpulkan seolah-olah sudah seluruh variabel.
e. Indikator;
dimaknai sebagai ciri-ciri atau karakteristik yang ada pada variabel atau sub
variabel. Indikator yang jelas memungkinkan seorang peneliti mampu menjabarkan
variabel dan atau subvariabel itu ke dalam paduan observasi, paduan wawancara,
atau kuesioner dengan baik. Untuk itu seorang peneliti seharusnya menguasai
konsep tentang variabel yang diteliti itu secara baik. (selanjutnya periksa contoh
penyusunan paduan observasi)
Hal-hal yang
berkaitan dengan teknik pelaksanaan
a. Penggunaan
metode pelengkap; perlu diingat bahwa prilaku manusia bukan sekedar apa yang
bisa diamati, tetapi lebih dari itu adalah motif-motif yang mendorong munculnya
tingkah laku tersebut, sebab bisa jadi perilaku yang muncul sama tetapi
motifyang mendasarinya berbeda. Oleh sebab itu, untuk mendapatkan informasi
yang lebih lengkap seyogianya penggunaan observasi diengkapi juga dengan metode
yang lain; seperti wawancara, studi dokumenter, dan lain-lain.
b. Pengklasifikasikan
gejala; mengingat data yang diperoleh dari kegiatan observasi bisa sangat
banyak dan beragam, seyogianya observer melakukan pengklasifikasian gejala guna
memudahkan analisis. Pengklasifikasian itu akan lebih baik jika mendasarkan
pada variabel dan atau sub-sub variabelpenelitian.
c. Pemanfaatan
alat pencatat data; ada beberapa alat pencatat data yang bisa dimanfaatkan
observer, antara lain: catatan biasa, daftar cek, beberapa alat perekam data.
d. Menjaga
hubungan baik dengan observee; sebelum dan selama pelaksanaan observasi
seyogianya observer selalu menjaga hubungan baik dengan observee dan memelihara
kewajaran situasi, sebab hubungan yang tidak baik antara observer dan observee
bisa mengganggu kegiatan observasi; seperti mogok atau melakukan kegiatan namun
dengan ogah-ogahan.
e. Libatkan
beberapa orang observer; untuk menjaga objektivitas hasi pengamatan, ada
baiknya jika observasi dilalukan bukan hanya oleh satu orang saja, tetapi lebih
dari satu orang, kemudian hasilnya dibandingkan dan disimpulkan bersama-sama.
2.4. Beberapa Alat Bantu Observasi
Ada
beberapa lat bantu yang bisa dimanfaatkan oleh observer dalam menggunakan
metode observasi, yaitu (a) daftar riwayat kelakuan, (b) catatan berkala, (c)
daftar cek, (d) skala penilaian, dan (e) alat-alat mekanik/elektrik (seperti:
tape recorder, handphone, handycam, kamera CCTV).
Daftar
riwayat kelakuan adalah suatu catatan tentang tingkah laku individu yang
dipandang istimewa dan luar biasa. Catatan seperti ini sebenarnya bukan hanya
dilakukan oleh konselor, tetapi bisa saja dilakukan oleh guru bidang study,
wali kelas, bahkan kepala sekolah. Untuk
kepentingan pemberian layanan yang mendekati tepat, ada baiknya konselor
(observer) juga mau memanfaatkan catatan-catatan yang dibuat oleh teman sejawat
perihal perlaku konseli. Catatan ini amat penting artinya manakala konselor
harus melakukan diagnosis dalam proses konseling, sehingga terhindar dari
salah-diagnosis.
Catatan
berkala adalah catatan yang dibuat pada saat tertentu tentang tingkah laku
seseorang, kemudian dijadian bahan rujukan dalam melukiskan kesan-kesan
umumnya. Misal: seorang konselor melihat seorang siswa yang ketika mengikuti
pelajaran perhatiannya selalu tertuju keluar kelas, beberapa orang guru bidang
studi juga melaporkan bahwa siswa yang bersangkutan sering ngelamun ketika
mengikuti pelajaran. Dari catatan-catatan itu kemudian konselor berusaha
mendalami faktor apa sebenarnya yang menyebabkan siswa tersebut sering melamun
dan kurang memperhatikan pelajaran, selanjutnya temuan tersebut dijadikan
rujukan dalam merumuskan diagnosis.
Daftar cek dan skalan penilaian
adalah sejumlah kalimat pernyataan yang berhubungan dengan diri konseli atau
sejumlah problem yang mungkin dihadapi konseli. Dengan daftar ini konseli
diharapkan memberi tanda cek (V) di bawah kolom yang menggambarkan sesuai atau tifak
sesuai dengan diri mereka.
Skala penilaian (rating scale)
adalah pencatatan gejala menurut tignkatan-tingkatannya. Bentuk pencatatan ini
bukan hanya menggambarkan ada atau tidaknya gejala pada subyek yang sedang
diamati-- seperti pada daftar cek--, tetapi lebih dari itu berupaya
menggambarkan kondisi subyek sesuai tingkatan-tingkatan gejalanya.
Sutrisno
Hadi (2004: 152-153) memandang penggunaan rating scale ini sangat populer
karena penggunaan sangat mudah, di sisi lain pencatatannya lebih menunjukkan
keseragmaan antara pencatat satu dengan lainnya, dan sangat sederhana untuk
dianalisis secara statistik. Hal ini sangat berbeda jika pencatatan itu
dilakukan dengan pernyataan-pernyataan deskriprif yang sangat panjang lebar,
yang oleh diobserver kerap kali menggunakan gaya penulisan yang amat beragam.
Agar observasi bisa memperoleh hasil yang maksimal,
Hanna Djumhana (1983 : 204) dan Ellis, C.M (2004 : 467- 680 menunjukkan
beberapa persyaratan yang perlu diiliki oleh observer sebagai berikut.
1. Mengingat
esensi observasi adalah melakukan pengamatan dengan memanfaatkan pencaindra,
oleh sebab itu observer seyogianya memiliki alat indra yang baik. Dalam
kegiatan konseling, lazimnya indera mata dan telinga lebih berperan daripada
indera lain.
2. Observer
perlu memilki motivasi dan kesediaan untuk melakukan observasi. Kondisi seperti
ini perlu selalu dikembangkan karena hal ini mendorong adanya perhatian dan
sikap waspada dalam melakukan observasi.
3. Pengetahuan
dan pengalaman melakukan observasi perlu selalu dikembangkan, yaitu melalui
pengkajian teori, pelatihan teknik-teknik observasi, dan melatih diri
menerapkannya dalam suasana konseling dan dalam kehidupan sehari-hari.
4. Observassi
seyogianya mengambil sikap netral, bebas prasangka, dan tidak terlalu cepat
mengambil simpulan.
5. Dalam
melakukan observasi, sebaiknya observer juga memperhatikan kondisi tubuhnya.
Kondisi terlalu lelah, sakit dan “tidak berminat” bisa mengakibatkan hasil
observasi kurang optimal.
6. Ada
baiknya jika observer-utamanya konselor dan peneliti kualitatif- mengenal latar
belakang sosial.
7. Khususnya
konselor, dalam situasi konseling seyogianya mampu menciptakan relasi yang baik
dengan konselinya agar terjadi suasa akrab, dengan demikian diharapkan konsle
dapat dengan sepenuh hati mengungkapkan dirinya sebagaimana adanya.
8. Hal
lain juga perlu diperhatikan konselor adalah sesegara mungkin mecatat data
observasi sebelum lupa.
2.5.
Observasi
dalam Konseling
1. Fungsi Observasi dalam Konseling
Meskipun sejak awal tahun 2000-an kecenderungan
orang untuk melakukan komunikasi melalui handphone dan internet semakin
meningkat, dan pihak pihak yang membutuhkan layanan konseling juga semakn
cenderung menggunakan handphone, telpon atau email daripada tatap muka; tetapi
dari pengalaman penulis memberikan layanan konseling dengan cara-cara tersebut,
menunjukkan bahwa kebutuhn konselor untuk bertatap muka dengan konseli kadang
dirasa masih tetap penting. Disimpulkan bahwa fungsi observasi bagi konselor
adalah (1) sekaligus bisa dijadikan alat kontrol (triangulasi) terhadap kebenaran
informasi yang disampaikan konseli, (2) bisa dijadikan validasi terhadap
informasi yang disampaikan konseli.
Dalam konselinng lazimnya observasi diarahkan pada
cara pengungkapkanya. Dengan demikian, fungsi observasi dalam konseling di
samping untuk memperoleh gambaran, pengetahuan, dan pemahaman tentang diri
konseli, juga untuk menunjang dan melengkapi bahan-bahan yang diperoleh melalui
wawancara. Dalam praktek konseling, tidak jarang konselor memerluhkan informasi
bukan hanya data variabel tetapi juga dari hasil observasi.
2. Hal-hal
yang Diobservasi (oleh Konselor)
Bagi konselor, seluruh perilaku konseli yang
teramati mulai dari kedipan mata hingga gerakan-gerakan seluruh tubuh pada
dasarnya perlu diamati. Meskipun seluruh perilaku konseli perlu diamati, tetapi
Anna Djumhana (1983 : 207-09) mendasarkan pada pendapat para ahli menunjukan
beberapa aspek yang perlu observasi adalah:
a. Cara
konseli masuk ruang dan menemui konselor
Cara
konseli masuk ruangan yaitu sejak konseli mengetuk pintu masuk (wajar, keras,
atau pelan-pelan), cara memberi salam, cara berjalan dan mendekati konselor,
apakah tingkah lakunya tetap dan tegas, lambat, atau lemah gemulai, cara
konseli menarik kursi apakah dengan pelan atau kasar. Ciri-ciri tingkah laku
itu dapat memberikan kesan bagi onserver bahwa dia pribadi yang tegas, berani,
malu-malu, menarik perhatian, penurut, dan tak bersemangnat.
b. Cara
konseli berjabat tangan dengan konselor
Pada
pertemuan pertama sebaiknya bagi konselor dan konseli sesama jenis kelamin
berjabat tangan, sedang terhadap konselor yang tidak sejenis tidak harus
berjabat tangan secara langsung. Meski demikian, bagi klien yang enggan
berjabat tangan lantaran pertimbangan agama, bukan berarti tidak bisa dikenali
ciri-ciri orang itu. Sebab manusia pada dasarnya tidak akan bisa menyembunyikan
dirinya secara penuh, lantaran masih bisa dikenali melalui raut wajah dan salah
ucapnya.
c. Cara
duduk dan jarak antara konseli dengan konselor
Cara
duduk yang rapi posisi duduk yang tepat dan hampir tidak berubah, sembarangan
atau yang banyak bergerak dapat mnecerminkan pengendalian diri yang baik, sikap
kaku, menarik perhatian, gelisah dan sebagainya. Cara duduk dengan tubuh agak
condong ke muka biasanya menandakan perhatian, keakraban, dan kesedian
berkomunikasi.
d. Cara
berbicara dengan nada suara
Cara
bagaimana seseorang berbicara akan memperkaya apa yang dibicarakannya, kalimat
yang sama diucapkan dengan nada yang berbeda akan memberi makna yang berbeda
pula. Kesan tulus, ogah-ogahan juga bisa diperhatikan dari nada suaranya. Nada suara
dapat mencerminkan keadaan emosional saat orang berbicara.
e. Bentuk
perawakan dan penampilan pada umumnya
Bentuk
perawakan (gemuk, kurus, jangkung, pendek, sedang) serta bagaimana proporsinya
dapat memberikan gambaran mengenai perwatakannya bila dihubungkan dengan
tipologi Kretschmer. Khususnya megenai cara berpakain, meskipun dalam beberapa
hal banyak dipengaruhi oleh mode, namun dalam beberapa hal masih menggambarkan
ciri kepribadian.
f. Ekspresi
wajah
Diakui
bahwa ekspresi wajah merupakan faktor penting dalam mengenali perwatakan dan
suasana perasaan seseorang, seseorang bisa dikenali bahwa ia sedang sedih , gembira,
takut atau ragu-ragu melalui wajahnya.
g. Reaksi-reaksi
emosional
Dalam
situasi konseling, reaksi-reaski konseli misalnua kaku, tegang, kecenderungan
menentang, santai, humor, bisa dipahami sebagai indikator bahwa konseli
sebenarnya percaya, ragu-ragu atau bakan tidak percaya kepada konselor.
h. Bahasa-bahasa
non verbal
Dedi
Supriadi (2001: 17-18) menyarankan agar dalam
konseling juga diperhatikan bahasa-bahasa non verbal seperti batas-batas
jarak untuk komunikasi, bahasa isyarat tubuh, muka, mata, persepsi tentang
waktu, nada suara, arti diam, sentuhan fisik, cara berpakaian dan penampian ,
komunikasi melalu indra penciuman, isyarat mata.
BAB
III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Observasi adalah proses pengamatan
yang disertai dengan pemusatan perhatian terhadap suatu objek dan gejala-gejala
yang perlu diamati. Observasi harus dilakukan secara sistematis dan bertujuan.
Ada beberapa bentuk observasi, (a) dilihat dari keterlibatan observer terhadap
kegiatan yang sedang dilakukan observe, observasi bisa dikelompokkan menjadi
observasi partisipan, non-partisipan, dan kuasi-partisipan, (b) dilihat dari
kondisi lingkungannya diciptakan atau apa adanya, bisa dikelompokkan menjadi
observasi naturalistic, dan eksperimen, (c) dilihat dari tingkat kesempurnaan
dan latihan yang diperlukan, bisa dikelompokkan menjadi (1) tingkat pertama, observasi informasi kasual, (2) tingkat
kedua, observasi terstruktur, dan (3) tingkat ketiga observasi klinis; (c)
dilihat dari tujuan lapangan, observasi dibedakan menjadi (1) finding
observation, dan (2) direct observation, (d) khususnya observasi sistematis
dibedakan menjadi (1) observasi naturalistic, (2) survey, dan (3)
eksperimentasi. Ada beberapa kelemahan observasi, yaitu (1) berkaitan dengan
keterbatasan kemampuan manusia dalam menyimpan hasil pengamatan, (2) cara
pandang individu terhadap obyek yang sama belum tentu sama antara individu satu
dengan lainnya, (3) kesan individu terhadap obyek yang sama juga belum tentu
sama, akibatnya penafsirannya juga tidak sama, (4) kesan individu terhadap
obyek sama juga belum tentu sama dengan individu lainnya, (5) ada kecenderungan
pada manusia dalam menilai sesuatu hanya mendasarkan ciri-ciri yang menonjol,
akibatnya terjadi “hallo effect”.
Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam observasi konseling, yaitu (1)
cara individu memasuki ruangan, (2) cara berjabat tangan, (3) cara duduk, (4)
cara berbicara dan nada suara, (5) bentuk perawakan dan penampilan pada
umumnya, (6) ekspresi wajah, (7) reaksi-reaksi emosional, dan (8) bahasa-bahasa
non verbal.
3.2. Saran
11
|
DAFTAR
PUSTAKA
12
|
Jika ingin mengunduh silahkan klik disini
0 komentar:
Posting Komentar