Couselor

Bimbingan dan Konseling ! Yes ! We Can !

Hima BK 2015

Upgrading pertama di Umbul Bandungan

Selasa, 30 Juni 2015

Makalah Observasi



OBSERVASI

MAKALAH



disusun guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Pemahaman Individu Non Tes



Dosen Pengampu

Dr. Anwar Sutoyo, M.Pd
Drs. Heru Mugiarso, M.Pd.,Kons.



Oleh
Rombel 2

Ellia Fetika Sari                       (1301414052)
Ika Rosyadah Hari A               (1301314051)
Nita Ariska Nurarifin               (1301314055)
Sri Wahyu Setianingsih           (1301314070)
Renny  Sulistyoningrum          (1301314082)





JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2015
KATA PENGANTAR

            Puji syukur kami panjatkan pada kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan tugas makalah sosiologi yang berjudul “
Observasi” tepat pada waktunya.

Kami sampaikan terimakasih kepada sahabat-sahabat yang telah membantu kami atas terselesaikannya makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah yang kami selesaikan ini masih jauh dari kesempurnaan. Seperti halnya pepatah “ tak ada gading yang tak retak “, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran dari semua kalangan yang bersifat membangun guna kesempurnaan makalah kami selanjutnya.

            Akhir kata, kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Serta kami berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi semua kalangan.
Amin




Semarang, 28 Maret 2015


                                                                                                      Penulis











ii
 



DAFTAR ISI
Halaman Judul
........................................................................................................
i
Kata Pengantar
........................................................................................................
ii            ii
Daftar Isi
.........................................................................................
Ii
Bab 1
Pendahuluan ..................................................................
1

1.1  Latar Belakang ..........................................................
1

1.2  Rumusan Masalah .....................................................
1

1.3  Tujuan .......................................................................
1
Bab II
Pembahasan ...................................................................
2

2.1  Pengertian Observasi .................................................
2

2.2  Bentuk-Bentuk Observasi ..........................................
2.3  Beberapa Kelemahan Obsevasi..................................
2.4  Beberapa Kelemahan Obsevasi ..................................
2

2.5 Observasi dalam Konseling .......................................
7
Bab III
Penutup ..........................................................................
9

3.1 Kesimpulan ...............................................................
9

3.2 Saran .........................................................................
9

DAFTAR PUSTAKA ...................................................
10



iii
 


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.       Latar Belakang
Metode observasi merupakan metode assesment yang tertua dalam psikologi. Metode observasi telah digunakan untuk mengobservasi perilaku verbal maupun non - verbal. Begitu pula halnya dengan ujian masuk perguruan tinggi. Metode observasi paling banyak digunakan dalam mengkaji perkembangan dan pendidikan anak. Observasi langsung merupakan bagian penting dari proses penemuan, dalam pengajaran maupun penelitian.
Observasi merupakan sarana untuk menggeneralisasi hipotesis atau ide. Pemahaman yang diperoleh dari observasi tersebut dapat dijadikan landasan untuk merancang aktivitas yang akan dilakukan dalam proses pembelajaran di sekolah. Observasi dapat memberikan gambaran yang lebih realistik tentang suatu peristiwa atau perilaku, dibandingkan metode pengumpulan informasi lainnya. Melalui observasi dimungkinkan untuk mengukur perilaku anak yang tidak dapat diukur dengan alat lain, misalnya pada anak yang memiliki kemampuan bahasa terbatas dan mengalami kesulitan .melalui observasi dimungkinkan bagi peneliti atau praktisi untuk memahami perilaku anak dengan lebih baik , observasi dapat menjadi sarana dalam melakukan evaluasi.

1.2.       Rumusan Masalah
1.      Apakah observasi itu?
2.      Apakah bentuk-bentuk observasi itu?
3.      Apakah kelemahan dalam metode observasi itu?
4.      Apakah alat bantu yang digunakan dalam observasi?
5.      Bagaimana penerapan observasi di dalam dunia konseling?

1.3.       Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian observasi.
2.      Untuk mengetahui bentuk-bentuk dari metode observasi.
3.      Untuk mengetahui kelemahan dari metode observasi
4.      Untuk mengetahui alat bantu yang digunakan dalam metode observasi.
5.      Untuk mengetahui penerapan observasi dalam dunia konseling.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1.       Pengertian Observasi
Secara garis besar terdapat dua rumusan tentang pengertian observasi, yaitu pengertian secara sempit dan secara luas. Dalam arti sempit, observasi berarti pengamatan secara langsung terhadap gejala yang diteliti. Dalam arti luas observasi meliputi pengamatan yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung terhadap obyek yang sedang diteliti. Dalam rumusan di atas ada satu kata kunci yaitu “pengamatan”. Dilihat dari segi psikologi, istilah “pengamatan” tidak sama dengan melihat, sebab melihat hanya dengan menggunakan penglihatan (mata); sedang dalam istilah pengamatan terkandung makna bahwa dalam melakukan pemahaman terhadap subyek yang diamati dilakukan dengan menggunakan pancaindra yaitu dengan penglihatan, pendengaran, penciuman, bahkan bila dipandang perlu dengan penggunaan pencecap dan peraba.
Observasi harus dilakukan dengan menggunakan pancaindra tidak boleh hanya dengan salahsatunya saja, karena tidak semua gejala yang diamati bisa dikenali dengan melakukan penglihatan saja,  kadang memang ada gejala yang tidak bisa ditangkap oleh mata tetapi dengan hidung, telinga, lidah, dan sebagainya. Di sisi lain, untuk meyakinkan hasil penglihatan kadang perlu dikuatkan dengan data dari penciuman, pendengaran, pencecap dan peraba. Bahkan manakala observasi digunakan sebagai alat pengumpul data penelitian kualitatif. Maka pengamatan yang dilakukan observar bukan hanya sebatas gejala yang Nampak saja, tetapi lebih jauh harus mampu menembus latar belakang mengapa gejala itu terjadi.
Di samping proses pengamatan, dalam melakukan observasi harus dilakukan dengan penuh perhatia (attention). Hal ini berarti bahwa dalam kegiatan observasi bukan hanya proses fisik  tetapi juga proses psikis.  Hal ini bisa dijelaskan bahwa ketika seseorang melakukan obsevasi, bukan hanya kegiatan melihat, mendengar, mencium saja yang berjalan; tetapi lebih dari itu adalah melihat, mendengar, dan mencium yang disertai dengan pemusatan perhatian, aktivitas, dan kesadaran terhadap obyek atau gejala-gejala tertentu yang sedang diobservasi.
Anna Djumhana (1983 : 201) juga mengingatkan, bahwa observasi juga harus dilakukan secara sistematis dan bertujuan, artinya dalam melakukan observasi observer tidak bisa melakukan hanya secara tiba-tiba dan tanpa perencanaan yang jelas. Dalam melakukan observasi harus jelas apa tujuannya, gejala-gejala apa saja yang perlu diamati, karakteristik masing-masing gejala, model pencatatannya, analisisnya, dan pelaporan hasilnya.

2.2.        Bentuk-Bentuk Observasi
Ada beberapa bentuk observasi yang lazim dilakukan oleh konselor dan atau peneliti, yaitu:
1.      Dilihat dari keterlibatan subyek terhadap obyek yang sedang diobservasi
(observee), observasi bisa dibedakan menjadi tiga bentuk yaitu:
a.       Observasi partisipan,  yaitu bila pihak yang melakuka observasi turut serta atau berpartisipasi dalam kegiatan yang sedang dilakukan oleh subyek yang sedang diobservasi. Observasi partisipan juga sering digunakan dalam penelitian eksploratif. Observasi partisipan memiliki kelebihan, yaitu observasi bisa jadi tidak mengetahui bahwa mereka sedang diobservasi, sehingga perilaku yang Nampak diharapkan wajar atau tidak dibuat-buat. Di sisi lain, observasi partisipan mengandung kelemahan, utamanya berkaitan dengan kecermatan dalam melakukan pengamatan dan pencatatan, sebab ketika observer terlibat langsung dalam aktivitas yang sedang dilakukan observee, sangat mungkin observer tidak bisa melakukan pengamatan dan pencatatan secara detail.
b.      Observasi non-partisipan, yaitu apabila observer tidak terlibat secara langsung atau tidak berpartisipasi dalam aktivitas yang sedang dilakukan oleh seorang observee. Observasi non- partisipan ini memiliki kelebihan, yaitu observer bisa melakukan pengamatan dan pencatatan secara detail dan cermat segala aktivitas yang dilakukan oleh observee. Di sisi lain, bentuk ini memiliki kelemahan yaitu bila observee mengetahui bahwa mereka sedang diobservasi, maka perilakunya biasanya dibuat-buat atau tidak wajar. Akibatnya, observer tidak mendapatkan data yang asli.
c.       Observasi kuasi-partisipan, yaaitu bila observer telibat dalam sebagian kegiatan yang sedang dilakukan oleh seorang observee, sementara pada sebagian kegiatan yang lain observer tidak melibatkan diri. Bentuk ini merupakan jalan tengah untuk mengatasi kelemahan untuk kedua bentuk observasi di atas, dan sekaligus memanfaatkan kelebihan dari kedua bentuk tersebut. Persoalan utama tetap terletak pada tahu atau tidaknya observee bahwa mereka sedang diamati, maka masih mungkin perilaku yang muncul masih ada kemungkinan tidak wajar.
2.      Dilihat dari segi situasi lingkungan di mana subyek diobservasi, Gall dkk (2003 : 254) membedakan observasi menjadi dua, yaitu:
a.       Observasi naturalistik (naturalistic observation) jika observasi itu dilakukan secara alamiah atau dalam kondisi apa adanya. Melihat pertandingan sepak bola, guru mengamati murid ketika sedang main di halam sekolah, seorang penneliti mengamati perilaku binatang di hutan atau kebun binatang adalah contoh dari obsevasi naturalistic.
b.      Observasi eksperimental (experimental observation) jika observasi itu dilakukan terhadap subyek dalam suasan eksperimen atau kondisi yang diciptakan sebelumnya.
3.      Khususnya bentuk observasi sistematis, Blocher (1987) mengelompokan ke dalam tiga bentuk dasar observasi, yaitu:
a.       Observasi naturalistic,  yaitu ketika seseorang ingin mengobservasi subyek (observee) dalam kondisi alami atau natural.
b.      Metode survai, yaitu ketika seseorang mensurvai (mengobservasi) contoh-contoh perilaku tertentu dari individu yang ingin kita nilai.
c.       Experimentasi, yaitu ketika seseorang tidak hanya mengobsevasi tetapi memaksakan kondisi-kondisi sfesifik terhadap subyek yang diobservasi.
4.      Mendasarkan pada tujuan dan lapangannya, Hanna Djumhana (1983 : 205) mengelompokan observasi sebagai berikut:
a.       Finding observation, yaitu kegiatan observasi untuk tujuan penjajagan. Dalam melakukan obsevasi ini observer belum mengetahui dengan jelas apa yang harus diobservas, ia hanya mengetahui bahwa dia akan menghadapi suatu situasi saja. Selama berhadapan dengan situasi itu ia bersikap menjajagi saja, kemudian ia mengamati berbagai variable yang mungkin dapat dijadikan bahan untuk menyusun observasi yang lebih terarah.
b.      Direct observation, yaitu observasi yang menggunakan “daftar isian” sebagai pedomannya. Daftar isi bisa berupa checklist kategiri tingkah laku yang diobservasi. Pada umumnya pembuatan daftar isian ini didasarkan pada data yang diperoleh dari finding observation danatau penjabaran dari konsep dan teori yang dipandang sudah mapan. Dalam situasi konseling, kedua bentuk observasi ini dapat diterapkan. Finding observation diterapkan apabila konselor mersa tidak perlu menggunakan berbagai daftar isian serta ingin mendapatkan kesan tentang tingkah laku konseli yang spontan atau apa adanya. Oleh sebab itu, konselor seyogyanya benar-benar kompeten dalam masalah ini. Dalam direct observation,  konselor menyediakan sebuah daftar berupa penggolongan tingkah laku atau rating. Selama konseling berlangsung atau segera setelah konseling berakhir, konselor mengisi daftar tersebut dengan caramemberi tanda pada penggolongan tingkah laku yang sesuai dengan tingkah laku konseli selama proses konseling berlangsung. Cara ini lebih mudah dibandingkan dengan cara finding observation,  tetapi kelemahannya adalah sering terjadi tingkah laku yang lain daripada yang digolongkan pada daftarnya, sehingga ada kecenderungan untuk menggolongkannya secara paksa atau mengabaikannya sama sekali.
5.      Mendasarkan pada tingkat kesempurnaannya dan pelatihan yang disyaratkan. Gibson dan Mitchell (1995 : 261) mengklasifikasikan observasi sebagai berikut:
a.       Level pertama, iobservasi informasi kasual (casual information observation). Observasi jenis ini banyak dilakukan dalam kehidupan sehari-hari dengan tidk terstruktur, dan biasanya observasi-observasi yang tidak terencana yang memberikan kesan kesan kasual yang terjadi sehari-hari oleh orang-orang didekat kita. Tidak ada pelatihan atau instrumentasi yang diharapkan atau disyaratkan.
b.      Level kedua, observasi berstruktur (guided observation). Terencana, diarahkan pada sebuah maksud atau tujuan. Observasi pada tingkat ini biasanya difasilitasi oleh instrument yang sederhana seperti checklist  dan skala penelitian. Beberapa training juga diperlukan.
c.       Level ketiga, lebel klinis. Observasi, selalu diperpanjang, dan sering dengan kondisi-kondisi yang terkontrol. Teknik-teknik dan instrument-instrumen direncanakan dengan baik, dan digunakan melalui pelatihan secara khusus, biasanya diberikan pada level doctoral.

2.3.       Beberapa Kelemahan Obsevasi
Gibson & Mitchell (1995 : 263), Mc. Millan &Schumacher (2001 : 276) menunjukan beberapa kelemahan observasi disarikan sebagai berikut:
1.      Kemampuan manusia untuk menyimpan secara akurat terhadap kesan yang diperoleh dari hasil pengamatan sangat terbatas, baik dalam hal jumlah maupun lamanya kesan (informasi) itu bisa disimpan. Akibatnya, mungkin ada sesuatu yang mungkin hilang atau tidak lengkap. Gibson & Mitchell (1995 : 263) mencatat bahwa tidak banyak orang yang mampu menyimpan kesan yang amat luas dan detail. Oleh sebab itu, para observer perlu alat bantu obsevasi. Seorang peneliti yang melakukan observasi terhadap sejumlah siswa dalam satu kelas tentu akan mengalami kesulitan jika harus menyimpan informasi berapa anak yang ada dalam kelas itu, berapa jumlah anak laki-laki dan berapa jumlah anak perempuan, siapa duduk dekat siapa, dan bajunya berwarna apa. Apalagi jika informasi itu harus disimpan dalam waktu lama.
2.      Cara pandang individu terhadap obyek yang sama juga belum tentu sama, sebab setiap orang memiliki frame yang unik yang mungkin berbeda dengan yang lain. Akibatnya, kesan yang diperoleh juga tidak sama dan penilaiannya pun menjadi tidak sama. Mahkamah agung yang memenangkan gugatan penggugat yang merasa “dicurangi” dan kemudian memerintahkan pemilihan ulang untuk beberapa daerah kabupaten yang dinilai tidak wajar akan dipandang obyektif bagi pihak yang mengajukan gugatan, tetapi dianggap tidak obyektif bagi tergugat yang telah memenangkan pemilihan. Hal ini dimungkinkan dengan kepentingannya yang memang berbeda. Gibson & Mitchell (1995 : 263) menunjukan bahwa hasil pengamatan sangat dipengaruhi oleh daya adaptasi, kebiasaan, hasrat atau keinginan, prasangka, proyeksi.
3.      Kesan seseorang terhadap suatu obyek juga tidak selalu sama. Akibatnya penafsiran dan penilaian yang diberikan terhadap obyek yang sama menjadi tidak sama. Seseorang yang memegang teguh norma social ketika melihat seorang remaja rambutnya disemir dengan warna-warni plus mengenakan anting, mungkin akan punya kesan bahwa remaja itu nakal. Tetapi bagi observer lain yang mudah menerima nilai-nilai baru akan mempunyai kesan yang berbeda, mungkin tampilan remaja tersebut sesuai dengan perkembangan zaman, bahkan ia menilainya positif.
4.      Ada kecenderungan pada manusia dalam menilai sesuatu menjadi terlalu tinggi atau terlalu rendah mendasarka pada sifat-sifat yang menonjol atau “pagar bulan” (halo effect). Seorang observer dalam memberikan nilai terhadap seorang siswa kadang masih terpengaruh ia “anak siapa”, atau memberi penilaian dengan pertimbangan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan aspek yang sedang dinilai. Tidak jarang orang memberikan penilaian terhadap seseorang yang dengan menilai tamplannya, padahal tampilan tidak menggambarka realitas yang sesungguhnya.




Ada beberapa cara yang bisa dilakukan konselor atau peneliti untuk mengatasi kelemahan penggunaan metode observasi, yaitu:
  1. Untuk mengatasi kelemahan akibat keterbatasan manusia dalam menyimpan hasil pengamatan baik dalam hal jumlah kesan yang bisa disimpan maupun lamanya waktu menyimpan, maka peneliti bisa memanfaatkan alat bantu seperti tape recorder atau camera video yang mampu menyimpan gambar maupun suara dalam jumlah yang nyaris tak terbatas.
  2. Untuk mengatasi kelemahan yang disebabkan cara pandang individu terhadap objek yang sama belum tentu didapat kesan dan penafsiran yang sama-lantaran setiap orang memiliki frame yang unikyang mungkin berbeda dengan yang lain-; maka peneliti bisa menerapkan definisi operasonal tentang objek yang diobservasi misalnya dengan menetapkan ciri-ciri variabel yang menjadi fokus pengamatan. Ciri-ciri itu bisa dirumuskan sebelumnya dengan melihat konsep-konsep teoritis yang dipandang telah matang.
  3. Untuk mengatasi kelemahan yang disebabkan karena kesan seseorang terhadapsuatu objek yang tidak selalu sama, akibat penafsiran dan penilaian meskipun terhadap objek yang sama, peneliti bisa menetapkan parameter-parameter objek atau perilaku yang sedang diamati. Misalnya untuk menilai seorang murid tergolong nakal atau tidak, peneliti bisa menetapkan parameter untuk anak seusia itu, di lingkungan sekolah, dari sisi tata tertib sekolah, norma sekolah, norma  masyarakat, dan norma hukum. Dengan norma yang jelas itu dimungkinkan variasi penilaiannya tidak terlalu jauh.
  4. Untuk mengatasi kelemahan akibat kecenderungan manusia dalam menilai sesuatu menjadi terlalu tinggi atau terlalu rendah mendasarkan pada sifat-sifat yang menonjol (hallo effect), peneliti bisa melibatkan sejumlah observer yang lebih banyak untuk mengurangi subjektivitas dalam penilaian.
  5. Untuk mengatasi kelemahan akibat tampilan yang dibuat oleh observee, observer bisa melakukan kontrol dengan menggunakan teknik yang berbeda, sumber yang berbeda, atau melihat sisi lain dari observee. Misal: untuk mengetahui apakah seseorang benar-benar keluarga miskin-yang berhak mendapatkan layanan khusus-atau tidak, observer bisa melakukan (1)interview kepada temannya, (2) tetangga terdekat, (3) mengamati bukan hanya pakaiannya tetapi juga perhiasan yang dikenakan, atau handphone yang digunakan.
  6. Di samping itu semua, untuk mengatasi kelemahan-kelemahan akibat kehadiran peneliti  atau observer yang mengakibatkan munculnya perilaku yang tidak wajar, peneliti seyogianya tidak memberi tahu kepada observee bahwa mereka sedang diamati dan atau memanfaatkan CCTV. Dengan alat ini memungkinkan gambar kegiatan subjek yang sedan diobservasi bisa dikirim ke ruangan lain untuk dilakukan observasi dan sekaligus evaluasi tanpa mengganggu atau mempengaruhi perilaku subjek yang sedang diobservasi, dan akan lebih baik lagi jika kamera CCTV itu dipasang di tempat yang tersembunyi. Disisi lain, hasil rekaman kamera CCTV ini memungkinkan untuk disimpan dalam waktu lama dalam  hardisk  komputer, sehingga sewaktu-waktu diperlukan untuk di tampilkan kembalin bisa dilakukan dengan mudah.
Meng-observasi aktifitas manusia tidak sesederhana mengobservasi proses benda-benda mati atau aktifitas binatang yang tidak memiliki pikiran dan perasaan, sebab binatang dan benda mati ketika diamati mereka tidak berubah perilakunya sehingga gejala yang nampak selalu wajar. Hal ini sangat berbeda dengan observasi terhadap manusia, sebab kondisi internal dan eksternal mereka sangat pengaruh terhadap gejala-gejala (perilaku) yang muncul. Hanna Djumhana (19983: 202) mengingatkan bahwa mengadakan observasi yang cermat dan kemudian mengambil kesimpulan yang tepat bukanlah hal yang mudah, sebab observer hanya mampu membaca perilaku yang teramati, sedang apa yang dihayati dan dipikirkan seseorang ketika melakukan aktifitas tertentu tidak bisa diduga dan disimpulkan. Mc. Millan dan schumacher (2001: 274), mengingatkan agar sebelum dan selama observasi, observer selalu memperhatikan hal-hal yang selanjutnya dikelompokan menjadi hal-hal yang berkaitan dengan tujuan, variabel, dan teknik pelaksanaan observasi berikut.
Hal-hal yang berkaitan dengan tujuan dan variabel penelitian
a.       Tujuan observasi, pahami lebih dahulu tujuan umum maupun tujan-tujuan khusus observasi. Dengan memahami dan memperhatikan tujuan observasi diharapkan observer tidak mudah tertarik kepada gejala-gejala yang sebenarnya tidak ada kaitannya denga tujuan observasi.
b.      Fokus (materi) observasi, apa yang sebenarnya hendak diobservasi seyogianya sudah dikuasai dengan baik oleh observer sebelum melakukan observasi. Ibarat seseorang yang hendak membeli seekor kambing seyogianya ia sudah tahu persis gambaran kambing yang hendak dibeli, jangan sampai terjadi ingin membeli “kambing” ternyata yang dibeli adaah “anjing’ meskipun sama-sama berbulu dan berkaki empat. Demikian pula jika seseorang hendak meneliti masalah sikap, minat, dan lain-lain, seyogianya mereka memahami benar konsep tentang minat atau minat.
c.       Variabel-variabel observasi; jika objek atau materi observasi itu adalah “kambing”, variabel-variabel itu adalah bagian-bagian penting yang pasti ada atau menjadi bagian penting dari binatang yang namanya “kambing”; (misal kepala, badan, kaki, ekor, dan lain sebagainya). Jika benda yang hendak diobservasi itu adalah “’baju” maka variabel yang perlu diperhatikan dalam observasi adalah potongan badan, lengan, krah, saku. Model, pakaian, coak pakaian, dan lain-lain.
d.      Sub variabel; terkadang suatu objek bukan hanya terdiri dari satu variabel saja, tetapi ia terdiri dari sub-sub variabel; ibarat salah satu variabel dalam objek observasi adalah “kepala kambing”, maka pada kepala kambing itu pun ada mata, telinga, hidung, tanduk, dan bulu. Oleh sebab itu, seseorang observer yang baiktentu tidak cukup bila hanya mengobservasi salah satu sub-variabel kemudian hasilnya disimpulkan seolah-olah sudah seluruh variabel.
e.       Indikator; dimaknai sebagai ciri-ciri atau karakteristik yang ada pada variabel atau sub variabel. Indikator yang jelas memungkinkan seorang peneliti mampu menjabarkan variabel dan atau subvariabel itu ke dalam paduan observasi, paduan wawancara, atau kuesioner dengan baik. Untuk itu seorang peneliti seharusnya menguasai konsep tentang variabel yang diteliti itu secara baik. (selanjutnya periksa contoh penyusunan paduan observasi)
Hal-hal yang berkaitan dengan teknik pelaksanaan
a.       Penggunaan metode pelengkap; perlu diingat bahwa prilaku manusia bukan sekedar apa yang bisa diamati, tetapi lebih dari itu adalah motif-motif yang mendorong munculnya tingkah laku tersebut, sebab bisa jadi perilaku yang muncul sama tetapi motifyang mendasarinya berbeda. Oleh sebab itu, untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap seyogianya penggunaan observasi diengkapi juga dengan metode yang lain; seperti wawancara, studi dokumenter, dan lain-lain.
b.      Pengklasifikasikan gejala; mengingat data yang diperoleh dari kegiatan observasi bisa sangat banyak dan beragam, seyogianya observer melakukan pengklasifikasian gejala guna memudahkan analisis. Pengklasifikasian itu akan lebih baik jika mendasarkan pada variabel dan atau sub-sub variabelpenelitian.
c.       Pemanfaatan alat pencatat data; ada beberapa alat pencatat data yang bisa dimanfaatkan observer, antara lain: catatan biasa, daftar cek, beberapa alat perekam data.
d.      Menjaga hubungan baik dengan observee; sebelum dan selama pelaksanaan observasi seyogianya observer selalu menjaga hubungan baik dengan observee dan memelihara kewajaran situasi, sebab hubungan yang tidak baik antara observer dan observee bisa mengganggu kegiatan observasi; seperti mogok atau melakukan kegiatan namun dengan ogah-ogahan.
e.       Libatkan beberapa orang observer; untuk menjaga objektivitas hasi pengamatan, ada baiknya jika observasi dilalukan bukan hanya oleh satu orang saja, tetapi lebih dari satu orang, kemudian hasilnya dibandingkan dan disimpulkan bersama-sama.

2.4.       Beberapa Alat Bantu Observasi
Ada beberapa lat bantu yang bisa dimanfaatkan oleh observer dalam menggunakan metode observasi, yaitu (a) daftar riwayat kelakuan, (b) catatan berkala, (c) daftar cek, (d) skala penilaian, dan (e) alat-alat mekanik/elektrik (seperti: tape recorder, handphone, handycam, kamera CCTV).
Daftar riwayat kelakuan adalah suatu catatan tentang tingkah laku individu yang dipandang istimewa dan luar biasa. Catatan seperti ini sebenarnya bukan hanya dilakukan oleh konselor, tetapi bisa saja dilakukan oleh guru bidang study, wali kelas, bahkan  kepala sekolah. Untuk kepentingan pemberian layanan yang mendekati tepat, ada baiknya konselor (observer) juga mau memanfaatkan catatan-catatan yang dibuat oleh teman sejawat perihal perlaku konseli. Catatan ini amat penting artinya manakala konselor harus melakukan diagnosis dalam proses konseling, sehingga terhindar dari salah-diagnosis.
Catatan berkala adalah catatan yang dibuat pada saat tertentu tentang tingkah laku seseorang, kemudian dijadian bahan rujukan dalam melukiskan kesan-kesan umumnya. Misal: seorang konselor melihat seorang siswa yang ketika mengikuti pelajaran perhatiannya selalu tertuju keluar kelas, beberapa orang guru bidang studi juga melaporkan bahwa siswa yang bersangkutan sering ngelamun ketika mengikuti pelajaran. Dari catatan-catatan itu kemudian konselor berusaha mendalami faktor apa sebenarnya yang menyebabkan siswa tersebut sering melamun dan kurang memperhatikan pelajaran, selanjutnya temuan tersebut dijadikan rujukan dalam merumuskan diagnosis.

Daftar cek dan skalan penilaian adalah sejumlah kalimat pernyataan yang berhubungan dengan diri konseli atau sejumlah problem yang mungkin dihadapi konseli. Dengan daftar ini konseli diharapkan memberi tanda cek (V) di bawah kolom yang menggambarkan sesuai atau tifak sesuai dengan diri mereka.
Skala penilaian (rating scale) adalah pencatatan gejala menurut tignkatan-tingkatannya. Bentuk pencatatan ini bukan hanya menggambarkan ada atau tidaknya gejala pada subyek yang sedang diamati-- seperti pada daftar cek--, tetapi lebih dari itu berupaya menggambarkan kondisi subyek sesuai tingkatan-tingkatan gejalanya.
Sutrisno Hadi (2004: 152-153) memandang penggunaan rating scale ini sangat populer karena penggunaan sangat mudah, di sisi lain pencatatannya lebih menunjukkan keseragmaan antara pencatat satu dengan lainnya, dan sangat sederhana untuk dianalisis secara statistik. Hal ini sangat berbeda jika pencatatan itu dilakukan dengan pernyataan-pernyataan deskriprif yang sangat panjang lebar, yang oleh diobserver kerap kali menggunakan gaya penulisan yang amat beragam.
Agar observasi bisa memperoleh hasil yang maksimal, Hanna Djumhana (1983 : 204) dan Ellis, C.M (2004 : 467- 680 menunjukkan beberapa persyaratan yang perlu diiliki oleh observer sebagai berikut.
1. Mengingat esensi observasi adalah melakukan pengamatan dengan memanfaatkan pencaindra, oleh sebab itu observer seyogianya memiliki alat indra yang baik. Dalam kegiatan konseling, lazimnya indera mata dan telinga lebih berperan daripada indera lain.
2. Observer perlu memilki motivasi dan kesediaan untuk melakukan observasi. Kondisi seperti ini perlu selalu dikembangkan karena hal ini mendorong adanya perhatian dan sikap waspada dalam melakukan observasi.
3. Pengetahuan dan pengalaman melakukan observasi perlu selalu dikembangkan, yaitu melalui pengkajian teori, pelatihan teknik-teknik observasi, dan melatih diri menerapkannya dalam suasana konseling dan dalam kehidupan sehari-hari.
4. Observassi seyogianya mengambil sikap netral, bebas prasangka, dan tidak terlalu cepat mengambil simpulan.
5. Dalam melakukan observasi, sebaiknya observer juga memperhatikan kondisi tubuhnya. Kondisi terlalu lelah, sakit dan “tidak berminat” bisa mengakibatkan hasil observasi kurang optimal.
6. Ada baiknya jika observer-utamanya konselor dan peneliti kualitatif- mengenal latar belakang sosial.
7. Khususnya konselor, dalam situasi konseling seyogianya mampu menciptakan relasi yang baik dengan konselinya agar terjadi suasa akrab, dengan demikian diharapkan konsle dapat dengan sepenuh hati mengungkapkan dirinya sebagaimana adanya.
8. Hal lain juga perlu diperhatikan konselor adalah sesegara mungkin mecatat data observasi sebelum lupa.

2.5.       Observasi dalam Konseling
1. Fungsi Observasi dalam Konseling
Meskipun sejak awal tahun 2000-an kecenderungan orang untuk melakukan komunikasi melalui handphone dan internet semakin meningkat, dan pihak pihak yang membutuhkan layanan konseling juga semakn cenderung menggunakan handphone, telpon atau email daripada tatap muka; tetapi dari pengalaman penulis memberikan layanan konseling dengan cara-cara tersebut, menunjukkan bahwa kebutuhn konselor untuk bertatap muka dengan konseli kadang dirasa masih tetap penting. Disimpulkan bahwa fungsi observasi bagi konselor adalah (1) sekaligus bisa dijadikan alat kontrol (triangulasi) terhadap kebenaran informasi yang disampaikan konseli, (2) bisa dijadikan validasi terhadap informasi yang disampaikan konseli.
Dalam konselinng lazimnya observasi diarahkan pada cara pengungkapkanya. Dengan demikian, fungsi observasi dalam konseling di samping untuk memperoleh gambaran, pengetahuan, dan pemahaman tentang diri konseli, juga untuk menunjang dan melengkapi bahan-bahan yang diperoleh melalui wawancara. Dalam praktek konseling, tidak jarang konselor memerluhkan informasi bukan hanya data variabel tetapi juga dari hasil observasi.
2. Hal-hal yang Diobservasi (oleh Konselor)
Bagi konselor, seluruh perilaku konseli yang teramati mulai dari kedipan mata hingga gerakan-gerakan seluruh tubuh pada dasarnya perlu diamati. Meskipun seluruh perilaku konseli perlu diamati, tetapi Anna Djumhana (1983 : 207-09) mendasarkan pada pendapat para ahli menunjukan beberapa aspek yang perlu observasi adalah:
a.       Cara konseli masuk ruang dan menemui konselor
Cara konseli masuk ruangan yaitu sejak konseli mengetuk pintu masuk (wajar, keras, atau pelan-pelan), cara memberi salam, cara berjalan dan mendekati konselor, apakah tingkah lakunya tetap dan tegas, lambat, atau lemah gemulai, cara konseli menarik kursi apakah dengan pelan atau kasar. Ciri-ciri tingkah laku itu dapat memberikan kesan bagi onserver bahwa dia pribadi yang tegas, berani, malu-malu, menarik perhatian, penurut, dan tak bersemangnat.
b.      Cara konseli berjabat tangan dengan konselor
Pada pertemuan pertama sebaiknya bagi konselor dan konseli sesama jenis kelamin berjabat tangan, sedang terhadap konselor yang tidak sejenis tidak harus berjabat tangan secara langsung. Meski demikian, bagi klien yang enggan berjabat tangan lantaran pertimbangan agama, bukan berarti tidak bisa dikenali ciri-ciri orang itu. Sebab manusia pada dasarnya tidak akan bisa menyembunyikan dirinya secara penuh, lantaran masih bisa dikenali melalui raut wajah dan salah ucapnya.
c.       Cara duduk dan jarak antara konseli dengan konselor
Cara duduk yang rapi posisi duduk yang tepat dan hampir tidak berubah, sembarangan atau yang banyak bergerak dapat mnecerminkan pengendalian diri yang baik, sikap kaku, menarik perhatian, gelisah dan sebagainya. Cara duduk dengan tubuh agak condong ke muka biasanya menandakan perhatian, keakraban, dan kesedian berkomunikasi.
d.      Cara berbicara dengan nada suara
Cara bagaimana seseorang berbicara akan memperkaya apa yang dibicarakannya, kalimat yang sama diucapkan dengan nada yang berbeda akan memberi makna yang berbeda pula. Kesan tulus, ogah-ogahan juga bisa diperhatikan dari nada suaranya. Nada suara dapat mencerminkan keadaan emosional saat orang berbicara.
e.       Bentuk perawakan dan penampilan pada umumnya
Bentuk perawakan (gemuk, kurus, jangkung, pendek, sedang) serta bagaimana proporsinya dapat memberikan gambaran mengenai perwatakannya bila dihubungkan dengan tipologi Kretschmer. Khususnya megenai cara berpakain, meskipun dalam beberapa hal banyak dipengaruhi oleh mode, namun dalam beberapa hal masih menggambarkan ciri kepribadian.
f.       Ekspresi wajah
Diakui bahwa ekspresi wajah merupakan faktor penting dalam mengenali perwatakan dan suasana perasaan seseorang, seseorang bisa dikenali bahwa ia sedang sedih , gembira, takut atau ragu-ragu melalui wajahnya.
g.      Reaksi-reaksi emosional
Dalam situasi konseling, reaksi-reaski konseli misalnua kaku, tegang, kecenderungan menentang, santai, humor, bisa dipahami sebagai indikator bahwa konseli sebenarnya percaya, ragu-ragu atau bakan tidak percaya kepada konselor.
h.      Bahasa-bahasa non verbal
Dedi Supriadi (2001: 17-18) menyarankan agar dalam  konseling juga diperhatikan bahasa-bahasa non verbal seperti batas-batas jarak untuk komunikasi, bahasa isyarat tubuh, muka, mata, persepsi tentang waktu, nada suara, arti diam, sentuhan fisik, cara berpakaian dan penampian , komunikasi melalu indra penciuman, isyarat mata.





























BAB III
PENUTUP
3.1.   Kesimpulan
Observasi adalah proses pengamatan yang disertai dengan pemusatan perhatian terhadap suatu objek dan gejala-gejala yang perlu diamati. Observasi harus dilakukan secara sistematis dan bertujuan. Ada beberapa bentuk observasi, (a) dilihat dari keterlibatan observer terhadap kegiatan yang sedang dilakukan observe, observasi bisa dikelompokkan menjadi observasi partisipan, non-partisipan, dan kuasi-partisipan, (b) dilihat dari kondisi lingkungannya diciptakan atau apa adanya, bisa dikelompokkan menjadi observasi naturalistic, dan eksperimen, (c) dilihat dari tingkat kesempurnaan dan latihan yang diperlukan, bisa dikelompokkan menjadi (1) tingkat pertama, observasi informasi kasual, (2) tingkat kedua, observasi terstruktur, dan (3) tingkat ketiga observasi klinis; (c) dilihat dari tujuan lapangan, observasi dibedakan menjadi (1) finding observation, dan (2) direct observation, (d) khususnya observasi sistematis dibedakan menjadi (1) observasi naturalistic, (2) survey, dan (3) eksperimentasi. Ada beberapa kelemahan observasi, yaitu (1) berkaitan dengan keterbatasan kemampuan manusia dalam menyimpan hasil pengamatan, (2) cara pandang individu terhadap obyek yang sama belum tentu sama antara individu satu dengan lainnya, (3) kesan individu terhadap obyek yang sama juga belum tentu sama, akibatnya penafsirannya juga tidak sama, (4) kesan individu terhadap obyek sama juga belum tentu sama dengan individu lainnya, (5) ada kecenderungan pada manusia dalam menilai sesuatu hanya mendasarkan ciri-ciri yang menonjol, akibatnya terjadi “hallo effect”. Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam observasi konseling, yaitu (1) cara individu memasuki ruangan, (2) cara berjabat tangan, (3) cara duduk, (4) cara berbicara dan nada suara, (5) bentuk perawakan dan penampilan pada umumnya, (6) ekspresi wajah, (7) reaksi-reaksi emosional, dan (8) bahasa-bahasa non verbal.

3.2.   Saran
11
Kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan di dalam pembuatan makalah ini. Oleh kkarena itu, dengan kerendahan hati penulis mengharpkan kritik dan saran baik dari dosen pengampu maupun dari pembaca budiman atas kritik dan saran nantinya kamis ucapkan terima kasih.


DAFTAR PUSTAKA

12
Sutoyo, Anwar. 2012. Pemahaman Individu (Observasi, Checklist, Intervieu, Kuesioner dan Sosiometri). Jogjakarta: Pustaka Pelajar.


Jika ingin mengunduh silahkan klik disini

0 komentar:

Posting Komentar